Unloved, Rejected, And The Needs to Give Love
November 17, 2021
(Credit: Pexels)
Waktu gue berumur 17 tahun, gue akhirnya mengerti kenapa gue punya masa kecil yang nggak keren-keren banget di sisi pengembangan karakter serta pertumbuhan mental. Selain mengalami mental & physical abused dari nyokap dan beberapa anggota keluarga lainnya, gue pernah menciptakan cerita omong kosong tentang bagaimana bahagianya keluarga gue ke teman-teman gue dulu. Cerita omong kosong itu gue gulirkan terus sampai di kelas 5 SD, lalu gue bosan sendiri dan berhenti melakukannya.
Gue pernah ditolak mentah-mentah oleh nyokap dan keluarga gue sendiri, karena gue tumbuh menjadi anak perempuan yang bisa dibilang cukup nyeleneh. Nggak pernah suka pakai rok atau dress putri-putrian. Lebih memilih bermain gundu di lapangan, atau nyari encu di got buat gue jual ke tukang jualan cupang, ketimbang nyisirin rambut Barbie & Ken di istana-istanaannya mereka. Gue selalu dibanding-bandingkan dengan kakak sepupu gue (perempuan juga) yang pernah hampir membuat gue kehilangan nyawa di tengah laut, dan membuat gue di-bully habis-habisan saat masuk SMP karena masuk sekolah hari pertama dengan kepala cepak militer, berkat gagal totalnya potongan rambut yang diberikannya ke gue.
Gue tahu dan paham benar bagaimana rasanya tidak dicintai, tidak diinginkan dan ditolak mentah-mentah, bahkan oleh darah daging gue sendiri. Itu kenapa saat gue berhasil melewati itu semua, gue yang dulu dikenal sebagai "the biggest troublemaker" berubah menjadi "the coldest family member" di hadapan keluarga besar gue, terutama dari pihak nyokap. Gue menolak memberikan rasa kasihan gue kepada mereka yang pernah menolak keberadaan gue dan bahkan menyakiti gue, baik secara fisik maupun mental, even up until today, I never changed my mind, not even a bit.
Libby Hatch & Goo Goo Knox
(Credit: The Killing Times TV)
Gue menonton dan menyelesaikan series The Alienist Season 2 sangat telat dari rilisnya di tahun lalu. Namun, cuma butuh 2,5 hari untuk menyelesaikannya. Ada 2 karakter baru di season 2 ini yang berhasil mencuri hati dan pikiran gue, namanya Libby Hatch dan Goo Goo Knox. Sepasang kekasih yang sangat toxic terhadap satu sama lain, memiliki fetish yang lumayan bikin mengangkat alis, dan tentu saja, menurut gue, bisa menggeser posisi Mickey & Mallory dari Natural Born Killers.
Libby yang dibuang oleh Ibunya sendiri, yang juga memisahkannya dari anak perempuannya, Goo Goo Knox alpha male sekaligus mob leader di lingkungan yang tingkat kriminalitasnya tinggi, bersatu dan lantas menjelma menjadi sepasang kekasih yang mematikan, menyakitkan, namun mencintai satu sama lain dengan cara-cara yang nggak awam. They complete each other sicknessess, sungguh sebuah objek yang sangat menarik untuk dipelajari.
Kebutuhan Untuk Memberikan Cinta
Gue yakin banyak dari kita yang berhasil belajar banyak hal tentang bagaimana, kalau nanti kita jadi orang tua, nggak akan melakukan kesalahan yang sama seperti yang dilakukan oleh orang tua kita terhadap diri kita selama ini. Menjadi orang dewasa, menjalani dan berusaha menikmati segala macam prosesnya, seringkali membenturkan kita kepada keinginan-keinginan maupun gambaran ideal nan sempurna. Then we tend to forget, that there's no such thing called as perfection nor ideal.
Kita semua senantiasa, baik yang diakui maupun yang masih nyaman disimpan rapat-rapat, memiliki kebutuhan untuk memberikan cinta dengan love language kita masing-masing. Kita seringkali sengaja menjebak diri kita sendiri di dalam sebuah situasi, bahwa apabila kita melakukan dan memberikan 100%, orang yang menerima hal tsb akan melakukan dan memberikan dalam jumlah yang sama pula. Bahwa kita seringkali menterjemahkan "kebutuhan untuk memberikan cinta" tsb sebagai syarat mutlak agar bisa bahagia lahir bathin. Padahal, biasanya kita justru malah menuai lebih dari 100% kekecewaan.
(Credit: tumgirl.com)
Menghentikan Putaran Lingkaran Setan
Everyman for themselves. Cuma kita yang dapat menolong diri kita sendiri. Sounds selfish and harsh, but that's the fact. Your parents, partner, friends, not a rehab center, and don't ever treat them that way. Kita perlu senantiasa mempelajari diri kita sendiri, bagaimana kita ingin diperlakukan dan memperlakukan orang lain, bagaimana kita bisa menaklukkan segala ketakutan-ketakutan kita, bagaimana kita bisa overcome our failures yang mungkin lagi senang mampir ke hidup kita, dst.
Semakin sering kita berdiskusi dan berbicara dari hati ke hati dengan diri kita sendiri, gue yakin, pada akhirnya kita bisa lebih cepat menerima segala macam hal gak enak yang pernah kita alami, dan terus belajar untuk menjadi the best version of ourselves. Lalu, ujung perjalanannya adalah kita berhasil menghentikan putaran lingkaran setan yang sebelumnya terlihat gak akan ada habisnya, lantas memulai fase yang baru dengan bahagia tanpa siasat.
Terbaca dan terdengar seperti omong kosong yang nggak tangible ya? Iya, kalau kita memilih melihat dan mencernanya dari sisi itu. It's your life, your own call, make a good one. At least for yourself.
0 comments