Pekerjaan Rumah Terbesar Selama Dan Setelah Pandemi
Membuka WhatsApp dan media sosial sejak beberapa bulan lalu rasanya seperti masuk ke medan perang tanpa baju zirah, tombak atau bahkan senapan di tangan. Polos saja, hanya bermodalkan nyali, dan istighfar sebanyak-banyaknya dalam hati. Padahal gue tahu, itu lumayan bodoh untuk dilakukan, tapi untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Semua pekerjaan gue berkutat di platform-platform tersebut.
Menelan pil pahit setiap menit itu harusnya lama kelamaan bakal nggak berasa, kebal, layaknya pemain debus yang senang mempertunjukkan percobaannya menusuk diri dengan golok, parang bahkan mengunyah bara api. Tapi nyatanya, nggak kebal-kebal juga lah... Kalau sudah nggak bisa menangis saat menerima kabar buruk, paling mentok cuma bisa bengong menatap sawah milik orang lain dari jendela kamar kos. Kalau kabar baik yang datang, senang sebentar lantas digampar lagi sama kabar buruk yang brengseknya, gue tahu nggak mungkin bisa kelar dalam waktu dekat.
Kehilangan Nyawa Bukanlah Sekadar Angka Statistik
Masih teringat jelas, bagaimana kondisi gue, keluarga, teman terdekat, dan siapapun yang ada di lingkaran gue, minggu kedua di bulan Maret 2020 lalu. Kami semua masih optimis, Pandemi ini akan cepat berakhir. Bahkan gue sempat berucap dalam hati...
"Ini mungkin cuma tiga bulan, paling lama enam bulan. I totally can survive this, bisa lah, masih ada penghasilan tetap, cashflow keluarga aman, pas ada rezeki lebih bisa bantu yang lain."
Time flies, we're all here in the 2nd week of July 2021. Tenaga kesehatan sudah banyak yang tumbang, baik yang terpapar Covid-19 maupun yang sampai kehilangan nyawa. Belum lagi, orang-orang yang terpapar virus sialan ini, makin lama makin masuk ke lingkaran terdekat. Ada yang berhasil bertahan hidup, nggak sedikit yang akhirnya meregang nyawa. Gue telah kehilangan dua orang teman baik tahun lalu karena virus sialan ini, tahun ini? To be honest, I lost count. As a matter of fact, mulai nggak mau menghitungnya lagi, karena sakit hati yang nggak tertahankan.
Negara ini harusnya paham, bahwa kehilangan nyawa bukanlah sekadar angka statistik. Mereka yang kehilangan orang tua, anak, saudara, teman, sahabat, kekasih, selingkuhan, adalah manusia yang rasa kehilangannya mungkin akan sulit untuk diterima dengan lapang dada sampai kapanpun. Karena banyak dari kita semua menyadari, bahkan menyaksikannya setiap hari, bagaimana Negara ini gagal melindungi sebagian besar warganya.
Pekerjaan Rumah Yang Besar Soal Recovery
Sejak mempelajari trend ekonomi dan bisnis, gue mengerti, pada akhirnya semua akan bounce back on the right time. Semua Negara di seluruh dunia ini sedang berusaha melakukan hal tersebut, mulai dari suntikan stimulus ekonomi sampai ke jual-beli vaksin antar Negara, sah dilakukan demi keberlangsungan ekonomi global.
Namun buat gue, pekerjaan rumah terbesar untuk seluruh manusia di muka bumi ini adalah bagaimana kita akan mentally recover after this. Gue nggak akan bilang Pandemi ini bakal hilang begitu saja, layaknya Thanos yang waktu kelar menjentikkan jarinya, setengah populasi dunia melebur menjadi debu dan bersatu kembali menjadi atom di seluruh penjuru galaksi bima sakti. Pada akhirnya, Pandemi akan berubah menjadi Endemi, saat herd immunity sudah berhasil dijalankan, kita semua akan hidup berdampingan dengan virus tersebut.
Terus gimana sama mental kita yang sudah digerus sedemikian rupa selama proses tersebut? Kapan bisa balik stabil kayak sebelum semua ini terjadi? Nggak ada yang tahu coy. Elo, gue, kita semua cuma tahu teorinya, prakteknya belum tentu applicable untuk setiap orang.
Depresi dan Pandemi Yang Kini Berteman Baik
Gue menghentikan jam kursus psikologi gue sejak dua bulan lalu, karena gue nggak yakin sama capability gue untuk tetap melanjutkan kursus tersebut dalam kondisi ini. Selain belajar dari materi kursus, gue juga kerap membaca beberapa jurnal ilmiah yang berkaitan dengan psikologi, maupun di beberapa website yang fokusnya ke mental health, salah satunya adalah healthline.com
Bulan lalu, gue membaca soal "Situational Depression" di website tersebut, dan bagaimana gue atau bahkan banyak orang di luar sana sedang dan sudah mengalami tipe depresi ini. Gue yang memang sudah terdiagnosa memiliki PTSD dan Anxiety Disorder sejak tahun 2012 lalu, dan juga memiliki kecenderungan Psychosomatic Disorder (terdiagnosa di tahun 2019), makin berasa overwhelmed saat membaca artikel tersebut.
Depresi dan Pandemi yang kini berteman baik, sudah seharusnya menjadi salah satu agenda pemulihan setiap Negara di seluruh dunia. Buat gue yang orang Indonesia asli dan sudah nggak percaya sama sekali dengan Negara dan aparaturnya, makin sakit hati tapi juga buru-buru cari cara terbaik buat diri gue dan keluarga gue sendiri dulu. Harus ada rencana serta langkah yang substansial serta konkrit untuk segera melakukan ini secara perlahan, sejak sekarang. Everyman for themselves, right? Gotta do what I gotta do for my own people.
Bertahan Sebisa Dan Sekuatnya
Gue nggak punya kalimat motivasi untuk kita semua supaya bisa, paling enggak sedikit ringan dalam menghadapi banyak hal brengsek yang ada di hadapan kita sekarang. Gue cuma mau bilang, bertahan sebisa dan sekuatnya saja. Gue juga masih kesulitan untuk melakukan itu, tapi gue nggak punya opsi lain saat ini. This is our life now, this is what we have.
If you need someone to talk to, go reach out to your support system. Gue membuka email dan DM instagram gue untuk kalian yang mungkin bersedia membagi perjuangan kalian dalam menghadapi situasi dan kondisi brengsek ini. Gue bukan counsellor professional, but hey, from time to time, you just need to let it all out, right? Kalau gue sedang ada kapasitas lebih dan sanggup mendengarkan, I'm all ears.
Stay safe, stay healthy, and I know this one is hard, but try your best to keep your sanity in the middle of this madness and uncertain times.
Comments
Post a Comment