Who Need To Be Saved, But Are Reluctant To Be Saved

people-in-the-street-naveen-annam

"What’s the point of changing colors
When the image stays the same
I swear I’d lie to make you happy
But I’m so drained of my dishonesty"

Penggalan lirik lagu "Old Wounds" milik Belmont ini lumayan bikin gue mikir, setelah mendapati beberapa kejadian yang berkaitan dengan domestic violence dan toxic relationship yang ada di sekitar gue, dan tentu saja ada yang gue alami sendiri.

Berhasil "sembuh" dan keluar dari domestic violence dan toxic relationship, bukan berarti sudah benar-benar kehilangan trigger yang mampu menarik segala macam rasa dan ingatan yang pernah ada, naik ke permukaan lagi.


Aggravated and Disgusting

Beberapa malam lalu gue terlibat argumen dengan tetangga kos gue, karena selama tiga hari berturut-turut gue sulit tidur karena pertengkaran dia dan istrinya baik di sore hari, sampai di pagi buta. Sebelum kejadian beberapa malam lalu, gue sudah sempat dua kali komplain ke beliau langsung mengenai betapa terganggunya gue dengan pertengkaran mereka yang selalu melibatkan bantingan barang-barang serta teriakan-teriakan yang bikin migraine gue kambuh. Kaget sudah tentu, terutama saat mendengar pintu dibanting keras-keras, atau makian yang bikin gue gemetar saking takutnya.

Nah beberapa malam lalu itu, di jam setengah dua pagi, gue turun ke kamar beliau dan meminta beliau keluar dari kamarnya dan menghentikan pertengkaran dengan istrinya. Beliau emosi karena nggak terima komplain gue, gue emosi karena gue sudah capek banget, sampai akhirnya gue memanggil bapak kos untuk memberitahukan ke beliau bahwa his behavior is really annoys me, since I can't even sleep in peace for three days in a row, and I just recover from high fever. What did he say to me that night?

"You're disgusting, your attitude makes me even more aggravated! Go back to your room, you don't have the rights to tell me what to do, and I don't wanna talk to you, and I don't want to see you coming down to my room again!"

Reaksi pertama gue adalah, menghela nafas panjang dan istighfar sebanyak yang gue bisa, baik yang mampu terucap maupun yang di dalam hati. I was trembling like a pig about to be slaughtered. Aggravated and Disgusting. Those words were already there in the back of my head before he even throw at me. Gue mencoba bertahan di tengah caci maki beliau, ditemani dengan bapak kos dan juga bapaknya, selaku kepala keluarga tertinggi di family compound tersebut, selama lima menit. Sampai akhirnya energi gue habis, dan gue memilih balik ke kamar gue, berusaha menenangkan diri sampai setengah empat pagi, dan baru bisa beneran tidur di jam lima tiga puluh pagi.


Berteman Namun Berjarak

Gue nggak pernah menganggap seseorang sebagai teman, kalau setiap kali keberadaannya membuat gue nggak nyaman, dan membuat gue enggan menjadi diri gue sendiri sepanjang waktu. Gue tidak akan pernah mau menggunakan konsep "berteman namun berjarak" sampai kapanpun. Kalau keberadaan mereka memang nyata terasa nggak mengenakkan, bikin nggak nyaman, apalagi sampai bikin mental breakdown, gue akan membakar seluruh "jembatan" yang pernah kami miliki sampai hangus nggak bersisa.

Setiap orang memiliki versi yang berbeda-beda tentang diri kita. Sialnya, versi tentang orang ini di empat orang berbeda, sama semua. Toxic. Haus akan validasi. Smart-ass. Asshole. Projecting fears to everyone's around. Memaksakan value dirinya ke banyak orang dengan approach yang kasar dan unsolicited.

Selama hampir tiga belas tahun gue bersahabat dengan Ajeng Safitri Riandarini, tidak pernah satu kali pun, kami ingin mengambil jarak di hubungan persahabatan kami. Jarak tercipta karena kesibukan kami masing-masing, tuntutan pekerjaan, tanggung jawab terhadap keluarga, dan lain sebagainya, bukan karena memang ingin saling menghindari satu sama lain. Apa yang kami berdua tidak sukai satu sama lain, kami bisa mengelaborasinya dengan sangat runut, menggunakan diksi yang tepat, tidak menyakitkan, kritik yang benar-benar membangun tanpa menjatuhkan sejak awal.


Mereka Yang Terjebak, Dan Sengaja Menjebak Diri Sendiri

Dari dua cerita di atas, gue menarik kesimpulan, bahwa ya memang masih ada orang-orang yang sebenarnya perlu "diselamatkan", tapi justru mereka sendiri lah yang nggak mau atau belum mau untuk "diselamatkan." Ngehek ya? Iya. Penting untuk dibahas dan dikasih tahu nggak? Belum tentu.

Ketika kita sudah melihat dan bahkan mengalami pola yang sama secara terus-menerus, berulang-ulang, pola tersebut lantas akan berubah menjadi sebuah comfort zone. Dan yang namanya comfort zone itu penyakit yang mampu menggerogoti kita secara nggak sadar. Membungkam segala daya upaya kita untuk bisa evolve menjadi manusia yang lebih baik lagi, dalam aspek apapun, mulai dari hal yang kecil sampai hal yang besar.

Secara mental, saat kita mengalami hal-hal yang negatif tersebut constantly, subconsciously kita menganggap hal-hal tersebut adalah hal-hal yang lumrah dan wajar untuk diterima dan dilakukan, baik ke diri sendiri maupun ke orang-orang yang ada di sekitar kita. Dan ini sangat mengerikan.

Walau sebaiknya hidup tidak dilihat hanya dari sudut pandang hitam dan putih, tapi dalam kondisi seperti ini, kebanyakan dari kita yang mengalaminya sudah kesulitan untuk mengenali mana hitam dan mana putih. Common sense nggak kepake, standar moralitas di society nggak dipertimbangkan, etika pun sudah pasti kabur entah ke mana.


Keinginan Mesti Datang Dari Diri Sendiri

Bisa "sembuh" dan keluar dari domestic violence dan toxic relationship itu kuncinya cuma satu. Keinginannya mesti datang dari diri kita sendiri. Kebanyakan orang yang sedang berada di dalam kondisi tersebut seringkali nggak akan mau mendengarkan pendapat orang lain, walau misalnya sudah terpampang bukti-bukti konkrit, KALAU belum ketemu sama titik lelahnya, dan akhirnya memutuskan untuk lekas pergi lantas bebenah.

Gue dulu sangat optimis kalau hubungan gue dengan bekas suami gue bisa membaik, berbagai macam cara gue lakukan. Hasilnya ya nihil, makanya gue ngotot cerai, karena sudah nggak sanggup dipukuli hampir setiap hari. Atau waktu gue masih menjalani hubungan yang ternyata toxic, karena pasangan gue saat itu sangat manipulatif, gue berulang kali memberikan kesempatan, selalu memprioritaskan kebahagiaannya dia ketimbang memprioritaskan diri gue sendiri atau bahkan keluarga gue. Gue menutup kedua mata dan kedua telinga gue, nggak peduli setan sama pendapat orang lain, dan bahkan pendapat sahabat-sahabat gue.

Yang nyelametin gue apa? Akhirnya gue mau mendengarkan hati gue lamat-lamat. Mempelajari polanya, tidak menafikan segala macam rasa yang gue alami pada saat itu, dan pada akhirnya mau nggak mau ya berdamai sama semua kebodohan yang sudah gue buat, terus memaafkan diri sendiri. Masing-masing orang caranya berbeda kok, yang tahu ya diri kita sendiri.

Jangan meromantisasi banyak hal yang sebenarnya tuh memang perlu dilakukan ke sesama manusia lainnya. Kita ini (katanya) makhluk paling tinggi derajatnya loh, paling pintar dari sekian banyak makhluk lainnya, jadi ya coba digunakan dengan sebaik-baiknya lah kepintaran kita ini untuk nggak jadi asshole. The world doesn't revolve around you, your problems and your pains.

Go fix your own self first, since you don't need to fix anyone else. And you can't save the one who don't want to be saved anyway.

Lagi-lagi artwork-nya Rowan E. Cassidy ini bikin gue kepingin ngobrol sama diri gue sendiri lebih lama dan lebih dalam lagi.

defixion-rowan-e-cassidy


Ubud, 25th April 2021
"Old Wounds" - Belmont

Comments

Popular Posts