(Lodtunduh, 27th January 2021)
"Saya kangen jadi driver buat tamu-tamu mbak. Kangen kena macetnya Puri Ubud sampai ke Kelabangmoding. Saya kangen keramaian turis, saya kangen mengejar dollar-dollar dari sepanjang penginapan kami sampai ke tengah kota." begitu ucap bapak kos gue semalam sewaktu kami di perjalanan pulang, setelah beliau menjemput gue di tempat kerja karena hujan deras dan gue nggak bisa pulang sendirian ke kos.
Percayalah, gue dapat merasakan apa yang beliau dan keluarganya rasakan selama satu bulan hidup dan bekerja di Ubud. Mulai dari Nyuh Kuning, kami melewati kawasan Monkey Forest, Puri Ubud sampai ke Kelabangmoding, kemarin malam jalan-jalan tersebut lengang bukan main. Walau masih ada beberapa pub dan resto yang buka, namun turis yang mampir ke tempat mereka bisa dihitung pakai jari.
Pandemi ini brengsek dan sebentar lagi akan berulang tahun. Satu tahun kita semua, globally, hidup berdampingan dengan Pandemi, mau nggak mau, suka nggak suka. Dan sampai hari ini, masih banyak banget orang di luar sana yang nggak memiliki keberuntungan seperti gue. Masih ada pekerjaan, masih bisa membagi apa yang gue punya setiap hari. If I have tons of money like Jeff Bezos or Bill Gates or Mark Zuckerberg, I would definitely help people in need. Especially little children and elderly people. And I'm pretty sure, they do something similar like that, without other people knowing it.
Rasanya Seperti Mimpi Buruk Tak Berkesudahan
Sepanjang ingatan gue, selama satu bulan pertama setelah perceraian gue resmi diputuskan, gue nggak bisa tidur. Kalaupun tidur cuma dua sampai tiga jam dalam sehari. Gue memaksa badan dan isi kepala gue untuk tetap dalam "defense mode" takut kalau-kalau ada seseorang yang bakal mukulin gue pas gue tidur. Bahkan pas di kantor dalam kondisi bekerja saja, menutup mata rasanya bagai diancam dengan pisau yang siap menusuk leher gue kapanpun. Mimpi-mimpi buruk yang nggak akan pernah lagi mau gue alami di sisa hidup gue yang sekarang.
Hidup bersama Pandemi itu ya rasanya mirip-mirip kayak gitu. Mimpi buruk yang nggak tahu kapan selesainya. Menjalani hari ya tetap dilakukan, pekerjaan tetap dilakukan, bercengkrama dengan keluarga dan sahabat-sahabat terdekat bisa dilakukan melalui video call. Tapi love language kita semua dipaksa berubah selama hampir satu tahun terakhir ini, bukan? Menjaga jarak sejauh mungkin menjadi pilihan paling waras. Nggak hangout di dalam dan luar ruangan berlama-lama pun menjadi hal penting yang bisa saling menyelamatkan hidup kita satu sama lain.
Blood Thicker Than Water And Vice Versa
Sejak umur tiga belas tahun sampai kira-kira dua puluh tujuh tahun, gue menghabiskan hidup gue lebih banyak, lebih dekat dan lekat dengan sahabat-sahabat gue saja. Setelah itu gue berusaha memperbaikinya dengan cara lebih mendekatkan diri dengan keluarga satu darah sendiri. Dari delapan orang adik-adik gue, gue cuma bisa meraih dan mendekatkan diri ke lima orang dari mereka saja, karena sisa tiga orangnya terlalu jauh untuk gue jangkau, bahkan walau cuma lewat text saja, rasanya ada dunia yang sangat berbeda yang masih reluctant untuk gue gapai. Nggak tahu kenapa.
Dari mereka semua gue belajar, nggak ada yang lebih thicker dari yang satunya, semua sama saja. Hadir utuh sadar penuh, lekat erat ketika gue dengan sahabat-sahabat gue, versus gue dengan adik-adik dan keluarga gue, semua semestinya sama saja. Adil, berkesinambungan dan sebisa mungkin jangan sampai putus di tengah jalan. Dan selama sebulan tinggal di Ubud, gue diingatkan hal tersebut kembali setiap kali melihat bapak kos gue dengan keluarga-keluarganya di sini. And I'm grateful for that, for real. I can say I'm a lucky person to have them in my life now. Gue belajar banyak hal dari mereka semua, terutama tentang berjuang dalam ketidakpastian dan nasib yang terombang-ambing. Ini pelajaran paling mahal yang nggak akan pernah ada di kurikulum sekolah manapun.
Let Me Light Up The Sky, Light It Up For You
Yellowcard boleh saja sudah bubar sejak 2016 lalu, tapi buat gue, mereka akan tetap ada di keseharian gue. Satu lagu milik mereka yang sering gue mainkan di Spotify gue selama satu bulan terakhir, yang paling bisa mengekspresikan rasa sayang gue ke orang-orang yang ada di sekeliling gue sekarang ini adalah "Light Up The Sky".
"Let me light up the sky just for you tonight
Let me help you fly 'cause you won't have time
To cover your eyes or get your disguise
They won't ask you why
They'll just watch you die
And it's still so hard to be who you are
So you play this part and the show goes on
But you've come this far with a broken heart
Yeah, you've come this far and you're broken
Let me light up the sky
Light it up for you
Let me tell you why
I would die for you."
Sebisa mungkin, setiap hari gue keluar dari kamar kos, gue memberikan energi positif ke semua orang yang ada di sekeliling gue. Kita semua sama-sama mengerti dan memahami, bahwa kita masih mengalami kondisi sulit di tengah Pandemi, tapi bukan berarti kita mesti terus-terusan mengeluh, mengutuk, menyalahkan pihak-pihak yang nggak cepat tanggap terhadap kondisi ini, atau bahkan mencaci-maki siapapun yang masih party-party, bukan? Capek loh, asli capek banget. Jadi gue memilih untuk paling nggak sebisa mungkin, nggak memberikan energi negatif ke siapapun yang ada di sekeliling gue. Demi kesehatan gue dan mereka juga.
And yes, I would die for them with my own way. Apa sih yang bisa gue bantu? Sekadar posting mempromosikan usaha mereka? I definitely can do that. Tapi tentu saja dengan komunikasi dan pendekatan yang berbeda, karena kita semua hidup di dunia yang sangat jauh berbeda sekarang.
"Ojo rumongso biso, nanging bisoho rumongso." begitu kata pepatah Jawa kuno, yang sering diucapkan sama almarhum bokap tiri gue, dan dituliskan oleh mantan tunangan gue lantas berakhir menjadi salah satu tattoo di tangan gue. Ini pengingat yang nggak akan pernah hilang, dan amit-amit sampai bikin gue lupa daratan.
Jadi, kalau memang hari ini elo lagi kurang sehat dan bahkan nggak bisa ngasih sedikit energi positif ke diri elo sendiri, nggak apa-apa loh. Tapi jangan ditumpahkan ke orang lain ya? Jangan menyakiti diri elo sendiri, apalagi orang lain. Hidup itu berputar, dan karma seringkali dibayar kontan di muka. Asli nggak enak banget coy digampar pake karma, been there done that.
Ubud, 4th February 2021
P.SKencana Guest House Yang Bisa Kalian Sewa
Comments
Post a Comment