Survival Is A Must


Kamis malam kemarin saya mengalami ketakutan yang sudah lama nggak saya rasakan. Pulang dari kantor pakai Go-Jek, menuju ke rumah Ibu karena sudah janjian untuk makan malam bersama di sana. Keluar kantor saya sempat minta driver Go-Jek saya buru-buru, takut hujan, karena petir sudah menggelegar sedemikian mengerikannya, macam dengar Lars Ulrich lagi setem Drum. Sesampainya kami di turunan menuju pintu belakang Ragunan, hujan deras disertai angin kencang mengguyur jalanan beserta isinya. Kami memutuskan minggir, dan driver Go-Jek memberikan saya jas hujan untuk dipakai. Sementara dia bersiap memakai jas hujan, saya menghubungi adik perempuan saya dan menjawab beberapa WhatsApp, memberitahukan ke mereka bahwa saya masih di jalan dan terjebak hujan. Lalu..

"Ayo mbak, mumpung belum deras banget." ujar driver Go-Jek saya
"Neduh dulu deh mas, takutnya tambah deras." jawab saya khawatir. Manjanya mulai keluar nih.
"Justru kalau neduh, di sana nanti banjir mbak." kata driver Go-Jek
"Iya bener mbak, nanti di Paso pasti banjir." imbuh seorang pengendara motor di sebelah saya yang sedang membereskan barang-barangnya, semua perangkat elektronik dia masukkan ke dalam plastik.
"Nggak apa-apa mbak, saya antar sampai tujuan." tambah driver Go-Jek meyakinkan
"Oke mas, nanti kalau tambah deras, minggir lagi ya."
"Siap mbak."

Lalu berangkatlah kami menerabas hujan deras dan angin yang nggak ada tanda-tanda bakalan selo. Sambil istighfar dan minta ampun ke Tuhan, saya meyakinkan diri saya bahwa ada Ibu dan adik-adik saya yang menunggu di rumah. Lah benar saja.. sampai di Kav. Polri menuju Jl. Paso lalu lintas merayap banget, angin kencang ini bikin semua pengendara motor miring-miring, kuat-kuatan menahan terpaannya, berusaha menjejak aspal sementara sekujur badan mulai kuyup. Perasaan saya nggak enak, teringat dulu masa-masa saya menyelundupkan topi miring ke dalam kamar pas pulang malam. Mimpi buruk belum berakhir di situ.

Pertigaan menuju Jagakarsa dan Jl. Paso padat banget, karena takut dengan track Jagakarsa, saya minta driver Go-Jek ambil arah ke Jl. Paso, lalu.. jengjeng.. ada tiang listrik roboh persis di pintu masuk tempat makan yang banyak lampu kelap-kelipnya itu. Bukan cuma roboh, kabel-kabelnya putus ngewer-ngewer macam scene Final Destination 1 pas Devon Sawa mau nyelametin Ali Larter. Otomatis saya memeluk driver Go-Jek saya erat banget!

"Aduh mas, aduh mas.. itu gimana?"
"Te-tenang mbak.. kita minggir dulu sampe aman.."

Klakson para pengendara motor yang nggak sabar mulai sahut-sahutan, saya lantas teriak memberitahukan keadaan di depan mata saya. Cuma yah.. namanya orang sini ya.. mana mungkin langsung percaya, dua pengendara motor menerabas kami dan langsung buru-buru ngerem. Gimana? Makan tuh kabel listrik ngewer-ngewer, kalau kena kelar lah hidup kalian, wahai orang nggak sabaran. Kami semua menunggu sekitar 5 menit dan membuat lalu lintas berhenti, daripada mengantar nyawa, mendingan tiarap dulu deh, saya masih pingin ketemu Ibu dan adik-adik saya. Setelah kabel listrik nggak ngewer-ngewer, driver Go-Jek saya ambil jalur kanan pelaaaannnn bangeeett.. karena air di situ lumayan dalam, bahkan dia memutuskan menurunkan kakinya sambil motor tetap di-gas, saking susahnya menyeimbangkan motor. Sepanjang Jl. Paso, banyak pohon rubuh, seng rubuh, dan genangan air yang tingginya hampir sebetis saya. Ini aneh, seumur-umur tinggal di Ciganjur, saya nggak pernah mengalami ini sebelumnya.

Jangan dipikir keluar dari Jl. Paso langsung aman bray.. keadaan nggak lebih aman, memasuki Jl. RM Kahfi I genangan air mulai parah, terutama setelah melewati TPU Kampung Kandang, dan turunan Herman Susilo, banjir. Setelah berhasil melewati itu semua, lalu lintas berhenti total setelah melewati Gg. H. Montong, ada pohon tumbang di depan Gg. Kakas, dan pohonnya lebih besar dari Gundam. Sempat panik, lalu putar otak musti ambil shortcut ke mana. Diberikan pencerahan sama driver Go-Jek yang kebetulan sedang membantu warga sekitar, dia bilang motong lewat Gg. Pasir yang tembus ke Gg. Keranji. OH YEAH! I REMEMBER THAT! Ada rumah salah satu teman baik jaman SMA dulu di situ. Oke lah, mari segera pulang! Semua pengendara motor konvoi masuk ke dalam Gg. Pasir dan keluar dengan selamat. Driver Go-Jek saya kali ini benar-benar juara, berhasil menata mental dan fisiknya, memberikan keyakinan yang saya butuhkan di dalam kondisi seperti itu. Terima kasih Mas Dedi Supriyanto, kamu keren! 

Sampai di rumah saya langsung disambut adik perempuan saya dan Ayah yang baru saja selesai mengaji. Saya ceritakan kondisi jalanan di luar, jalur yang kemungkinan besar akan terputus sampai besok pagi, betapa saya sangat ketakutan dan hebatnya driver Go-Jek saya malam itu. Lalu Ayah bilang :

"Alamnya lagi marah, it's payback time."

And I was like.. dammit Dad, would you please just shut up? Dalam hati saja tentunya mengutuk seperti itu, mana berani, ciut lah nyali ini. Lalu saya flashback kembali sepanjang perjalanan dari kantor menuju rumah Ibu, wajah-wajah pengendara motor yang memilih untuk melawan derasnya hujan dan terpaan angin kencang tadi, demi bisa pulang ke rumah mereka masing-masing, bertemu dengan keluarganya. Gambaran akan rumah mereka dan saya yang hangat, menciptakan keinginan yang kuat untuk bisa bertahan melewati kondisi dan track yang nggak bersahabat. Di tengah hujan deras, angin kencang, dan ancaman banjir, pohon tumbang, tiang listrik roboh, saya merasa sangat kecil di hadapan Tuhan dan alam. Macam butiran debu-debu intan yang keluar dari tangan Andromeda lah intinya mah.. kalau Tuhan menghendaki saya mati pada malam itu, ya sah-sah saja, toh nggak cuma saya kan yang mengalami malam yang berat itu. Banyak rumah yang kebanjiran, atau roboh karena angin super kencang. Bahkan tetangga depan rumah Ibu yang sudah seperti saudara, harus merelakan kandang kambingnya hancur karena angin kencang. Entah berapa ekor  kambing yang selamat, padahal Idul Adha sudah di depan mata. 

Sampai hari ini ketika saya mengingat kejadian malam itu, saya masih takut dan resah. Bagaimana dengan orang-orang yang setiap hari, yang sampai entah bulan ke-berapa akan mengalami malam yang sama lagi? Yang dihadapi bukan amarahnya manusia soalnya, melainkan amarahnya alam dan (mungkin) Tuhan. Nggak ada tempat yang aman untuk berlindung, kalau sudah ditakdirkan bakal kehujanan atau kena banjir, atau kena tiang listrik roboh ya sudah. Nggak akan bisa menghindar. Lalu sebagai manusia, apa sih yang bisa kita lakukan untuk mengantisipasinya? BANYAK, dan sudah sering kali digaungkan, disosialisasikan di seluruh penjuru Negara ini. Mulai dari buang sampah pada tempatnya, tidak membangun hunian di bantaran kali, mengurangi penggunaan kendaraan bermotor, sampai menyerukan untuk menghentikan pembangunan gedung-gedung yang berpotensi merusak tata kota dan serapan air. Mungkin saya sok tahu, dan nggak kompeten untuk membuat daftar hal-hal apa saja yang bisa merusak alam, saya menulis ini berdasarkan pengetahuan dasar saja dan basic logic

Bertahan hidup itu memang penting, tapi bukan berarti musti serakah. Harus tahu kapan memulai dan kapan berhenti. Harus mengerti mana keinginan dan kebutuhan, harus paham aksi dan reaksi yang akan ditimbulkan ke permukaan. Harus mengerti, kalau hidup yang kita miliki sekarang ini cuma titipan, itu mengapa harus dijaga dan dirawat dengan sebaik-baiknya. Enggak, ini bukan perkara relijius-relijiusan, ini logika dasar. Bertahan hidup itu adalah keharusan, namun tidak harus menggerus hati nurani lantas merugikan diri sendiri atau bahkan orang lain. 

Kemang, September 4th 2016
"Left Alone" - Blink 182


Comments

Popular Posts