Anak Ahensi Itu (Paling) Dekat Dengan Tuhan
Dulu waktu pertama kali memutuskan untuk menjadi anak ahensi, Ibu (khususnya) shock setengah mati ngeliat saya tiap weekend bukannya bercengkrama dengan beliau dan adik-adik di rumah, malahan full seharian ngejogrog di depan laptop. Kerja. Maklum, waktu itu kondisi kami berdua sudah berdamai, dan Ibu sedang menggebu-gebu untuk bisa ngobrol banyak dengan saya, catching things up lah, setelah belasan tahun lamanya saya nggak pernah akur sama beliau dan hidup di luar rumah. Ibu bertanya, apa waktu bekerja saya nggak cukup selama dari Senin-Jumat, sampai-sampai weekend pun masih harus kerja? Saya jawab waktu itu singkat saja : "Nggak." lalu beliau ngeloyor keluar kamar sambil ngambek.
Sampai satu weekend, beliau sudah nggak tahan kali ya dengan kelakuan saya :") beliau masuk ke kamar saya, merebut laptop saya, menutupnya dan bicara dengan nada keras : "INI SABTU! HARUSNYA KAMU LIBUR! AJAK IBUMU INI NGOBROL! KAMU MAU BANYAK UANG DAN JABATAN TINGGI, ATAU MAU LIHAT IBUMU MATI KARENA KAMU BEGINI TERUS?!" sampai keesokan harinya laptop saya disita, dan saya kerja pakai handphone, colongan di tengah malam :"))
Semenjak kejadian itu, saya berusaha atur waktu jangan sampai kelihatan Ibu bekerja di rumah pas weekend. Sampai akhirnya saya memutuskan untuk ngekos lagi, selain karena jarak dari rumah Ibu ke kantor lumayan jauh, saya sering lembur, dan juga karena saya butuh fokus bekerja di weekend, untuk memenuhi ekspektasi klien maupun deadline. Ibu melepas saya (lagi) hidup di luar rumah, dengan sangat berat hati serta iringan wejangan-wejangan. Frekuensi komunikasi kami meningkat tajam lewat handphone, SMS ataupun kirim-kirim salam via WhatsApp adik perempuan saya. Pulang malu, tak pulang rindu. Kerinduan saya akan Ibu makin menjadi, lebih banyak dari sebelumnya.
Setelah hampir 5 tahun menjadi anak ahensi, saya memahami bahwa sebenarnya anak ahensi itu adalah manusia yang (paling) dekat dengan Tuhan. Brief nggak jelas dari klien? istighfar (yang non-muslim paling nggak pasti nyebut Oh My God), timeline mepet? istighfar, budget minta di-adjust melulu? istighfar, team mate susah banget di-brief? istighfar, mau boker nggak bisa karena lagi di tengah-tengah diskusi via Skype? istighfar, klien ngeyel banget dikasih tahu data yang reliable? istighfar, dsb. Ya, saya salah satu anak ahensi yang (paling) dekat dengan Tuhan. Belum lagi malam-malam di mana saya dan rekan-rekan seperjuangan harus tetap standby, di mana sebenarnya itu adalah waktu istirahat kami, atau untuk berkumpul dengan keluarga/enjoying our social life, tapi kami mau tidak mau harus ada untuk klien.
Ayah saya selalu bilang begini : "Kamu harus ingat ini, pertama itu Ibumu, kedua itu Ibumu, ketiga itu Ibumu, kemudian Bapakmu. Jangan lupa itu kak." Semenjak jadi anak ahensi semua itu berubah menjadi : "Klien, klien, klien, klien." empat kali. Bahkan ada yang puluhan kali.
Banyak jokes, meme, celetukan yang kental sekali dengan kondisi-kondisi yang saya sebutkan di atas tadi, salah satunya yang saya pasang di atas. Pas saya baca, reaksi pertama saya pasti ketawa, lalu re-share jokes/meme/celetukan tsb, sambil meringis di dalam hati. Ironis. Saya anak ahensi, salah satu buruh di industri kreatif yang sering kali kehabisan waktu untuk Ibu, keluarga dan bahkan kehidupan sosial saya, dituntut agar selalu tetap menjaga performa kerja, demi portfolio, demi kepuasan klien, demi profit management, namun (paling) dekat dengan Tuhan lebih dari para "pengantin" di luar sana.
Sudah seharusnya semua manusia memanusiakan manusia. Jangan paksa manusia menjadi mesin, begitu pula sebaliknya. Ini semua sudah takdir Tuhan. Terberi semenjak kita semua lahir ke dunia yang fana dan layaknya panggung sandiwara ini.
Kemang, August 17th 2016
"Staring At The Sun" - U2
Comments
Post a Comment