Judgement

beach gloomy


Bila dunia menghakimimu, rasanya tak akan terlalu banyak pahit yang akan kau telan mentah - mentah, lantas digerus pencernaanmu hingga menjadi tahi lalu kau keluarkan lagi esok harinya. Begitu terus menerus sampai kau mati.

Namun bila Ibumu yang menghakimimu, pahit, getir, sakit yang kau rasakan, yang kau cecap, yang berusaha kau telan akan berhenti, diam di tempatnya. Teronggok disitu bertahun - tahun lamanya, bahkan mungkin sampai kau mati, ia akan diam disitu selamanya, tak bermuara ke mana - mana.

Pertengkaran demi pertengkaran antara kau dan Ibumu yang episodenya tak pernah habis, macam sinetron striping entah sampai season berapa, bukan lagi menjadi hal istimewa dan langka. Sedikit demi sedikit kau tanam, kau pupuki, kau sirami hingga tumbuh dengan subur, menghasilkan bibit - bibit ketidakpercayaan, bibit - bibit kekecewaan, ketika akhirnya kau pahami, kau dan Ibumu tak mampu lagi menemukan aksara yang seperti apa untuk mampu mengungkapkan rasa yang kalian miliki terhadap satu sama lain.

Kau tak membenci Ibumu, begitu pula sebaliknya. Kalian hanya tidak mampu memahami satu sama lain, karena terlalu banyak kekecewaan yang telah kalian tanamkan jauh di masa lalu, dan enggan beranjak dari situ, untuk bisa berdamai dan setidaknya bisa mengerti satu sama lain di kehidupan yang sekarang.

"Ibu, saya lelah dihakimi terus menerus. Saya bisa saja pergi lagi dari rumah ini dan tak akan mengubah pikiran saya untuk kembali. Saya bisa ada disini, di rumah ini, karena Ibu meminta saya pulang, padahal saya tidak mau Ibu tahu bahwa saya sedang bersusah hati tentang segala hal yang sedang saya jalani. Saya tidak sampai hati membawa pulang masalah ke rumah yang sudah Ibu bangun dengan sedemikian rupa, dan saya rasa Ibu sudah cukup puas dengan kedua anak Ibu yang lain, Ibu tidak membutuhkan saya.

Seperti belasan tahun lamanya saya besar di jalanan dan (merasa) tidak membutuhkan Ibu. Tapi saya membutuhkan Ibu, untuk setidaknya mengerti sedikit saja, kalau saya lelah dihakimi terus menerus. Karena saya bukan Ibu. Saya tidak punya pendamping hidup yang kapan saja bisa dicurhati tentang apapun, saya tidak punya anak yang bisa saya mintakan tolong untuk merawat saya ketika saya sakit.

Ibu ingat sewaktu saya demam tinggi di umur 11 tahun, Ibu tidak menggubris rintihan saya dari kamar, atau ketika Ibu menghancurkan barang - barang yang ada di kamar saya sewaktu Ibu tahu saya merokok di belakang sekolah? Atau sewaktu Ibu bilang, Ibu tidak pernah menginginkan saya ada dan Ibu berniat menggugurkan saya namun ditahan oleh Kakek?

Saya sudah menelan segala hal tentang pahitnya masa lalu Ibu yang berimbas ke diri saya selama belasan tahun, bu. Itu kenapa saya memilih keluar dari rumah dan tak ingin berhadapan dengan Ibu lagi pada saat itu. Tapi saat saya sudah pulang ke rumah, atas permintaan Ibu, bahkan bicara dengan menatap mata saya saja enggan Ibu lakukan.

Marilah kita sama - sama mencoba membayangkan bila kita bertukar posisi, walau tidak akan pernah mampu kita mengubah masa lalu, namun siapa tahu kita bisa berdamai dengan diri kita masing - masing di waktu yang sekarang. Saya lelah bu.. apa Ibu tidak merasakan kelelahan yang sama?"

Ciganjur, 27 September 2014.

Comments

Popular Posts