Di antara Sesaknya Ibukota - Mencari Sisa Jejakmu Di Jagat Raya, HariKedelapan

Kepulan asap metro mini dan bajaj menyeruak masuk tanpa tedeng aling-aling dari balik jendela kaca metro mini 610 yang kusam, mungkin seumur hidupnya hanya dimandikan air hujan dan panasnya sengatan sinar matahari.

Pernah ku bilang padamu, Bram, bahwa Bjork, Robert Smith dan Chris Martin sangatlah magis. Sama magisnya dengan Pram ataupun Hatta. Kalau kamu masih ada disini, akan ku perkenalkan 1 kemagisan lagi bernama Bon Iver. Bagi siapapun dan makhluk apapun yang sedang diselimuti cinta, patah hati serta kerinduan pasti akan jatuh luluh lantak bersamanya. Menggerogoti setiap jengkal semua hal tersebut dengan rakus, tanpa jeda, tanpa ampun.

Holocene menjelma menjadi alunan yang membuat dada sesak, kepala pening, dahi berkerut serta membuat siapapun yang mendengarkannya akan menghela nafas resah mereka, sembari mengucap apapun yang tak mereka temukan aksaranya secara gamblang dan melafalkannya. Hanya hati yang berulang kali meneriakkannya.

Kamu lihat seperti apa Jakarta sekarang ini, Bram? Kendaraan bermotor makin banyak, jalanan tidak bertambah, kebutuhan hidup makin meningkat, anak-anak punk kentrung berserakan di setiap trotoar jalanan, sambil menghisap aibon atau mencekik plastik hitam di tangan mereka sambil tertawa-tawa atau menghitung penghasilan mereka, yang aku percaya tak lagi sebanyak dulu, sewaktu kita masih di jalanan seperti mereka. Kaos band yang mereka kenakan mungkin bukan lagi barang langka yang bisa kita temukan di Aldiron, melainkan dijual dengan harga dibawah seratus ribu. Ironisnya lagi, kaos band dalam negeri sendiri pun harganya cuma tiga puluh ribu. Ah, mereka mungkin belum mengalami pegalnya menyablon semalam suntuk dengan peralatan seadanya disertai beban harus menjadi hasil yang sebagus mungkin, agar harga jual bisa naik setidaknya dua ribu rupiah saja kala itu.

Fugazi. Itu sablonan pertama kita ya, Bram? Dibuat hanya 20 buah saja, dijual seharga dua puluh lima ribu di jalur 6 terminal Blok M, serta emblem yang seadanya seharga tiga ribu rupiah. Ludes terjual dalam waktu 1 hari. Kita langsung makan nasi padang kawe super malamnya, masih belum sanggup makan di RM Sederhana apalagi Pagi Sore ataupun Garuda. Kita kekenyangan sampai akhirnya tertidur di taman Martha Tiahahu setelah itu, berselimutkan langit dan army jacket milikmu yang sudah setipis kertas crepe.

Kamu lihat, Bram? Kapitalisme, euphoria, serta konsumerisme telah berhasil menggerus pribadi-pribadi tersebut dengan sangat beringas, hingga ke celah terkecil sekalipun. Membeli rupa-rupa barang yang sebenarnya tak terlalu mereka butuhkan, melontarkan pembenaran-pembenaran yang sebetulnya telah memakan mereka hidup-hidup bahkan semenjak mereka mencetuskannya di dalam kepala mereka. Tidak ada lagi yang mereka takuti, bahkan Tuhan pun mereka tantang. Mereka menghisap candu - candu kasat mata itu dengan sukarela, dengan fasih, dengan mahfum, tanpa ada keinginan untuk berhenti.

Bram, Jakarta sudah sedemikian reyotnya untuk ku tinggali, apakah kau akan mengijinkan aku untuk memupuk kembali nyaliku lantas berkemas pergi lagi? Aku tidak ingin menyelesaikan apapun yang masih tersisa di kota ini. Tidak sekarang ataupun nanti.

Fatmawati, 3 September 2014

Comments

Popular Posts