Quick Escape to Bogor - Mencari Sisa Jejakmu Di Jagat Raya, Hari Keempat

Matahari membumbung angkuh tepat diatas kepalaku, ketika siang tadi memutuskan lari-lari kecil menuju stasiun kereta Lenteng Agung, olahraga sedikit sebelum berbaur dengan mosh pit yang telah lama tak ku sambangi.

Ini kali pertama aku mengunjungi Taman Topi di Bogor, dan masih saja tak becus menempelkan kartu untuk masuk ke peron stasiun, sampai-sampai harus dibantu sembari ditertawai oleh security. Kamu ingat kartu pertama yang kita berdua miliki, Bram? Sobekan karton berwarna hitam, yang kau tulisi bait puisi milik Almarhum Rendra.

"Juwitaku yang cakap meskipun tanpa dandanan, untukmu hidupku terbuka.
Warna-warna kehidupan berpendar-pendar menakjubkan, isyarat-isyarat getaran ajaib menggerakkan penaku. Tanpa sekejap pun luput dari kenangan padamu aku bergerak menulis pamplet, mempertahankan kehidupan."

Kau menyimpan sobekan karton berbentuk segi empat itu dengan sangat rapih di dompetmu, kau laminating pula dengan setrika. Sementara sobekan karton milikku, teronggok percuma diantara selipan buku Pram entah yang mana. Aku pun lupa.. mungkin raib dibakar dengan sengaja bareng dengan Marx, Freud, Berkeley dan Seno Gumira beberapa tahun silam oleh mantan suamiku.

Terlalu banyak buku yang dibakar pada saat itu, aku hampir mati berdiri ketika mengetahuinya. Buku-buku yang setiap malam dulu kita diskusikan bersama, beradu pendapat, sampai bertengkar sambil melemparkan kata-kata tajam satu sama lain. Kau ingat itu, Bram? Kau bilang aku keras melebihi batu, pedas melebihi cabai thailand, terlalu menggoda untuk didiamkan barang sedetik pun.

Semesta ini terlalu besar untuk bisa kau dan aku jelajahi bersama, namun entah dari mana datangnya keyakinanmu, bahwa aku sanggup melakukannya sendirian, tanpamu. Begitu ucapmu hampir 10 tahun yang lalu. Mungkin sekarang kau sedang menertawaiku ketika akhirnya aku memilih untuk pulang ke Ciganjur, sambil berkata : "Sudah sampai disitu saja kah nyalimu, ga?"

Mungkin aku akan menjawab : "Iya" atau bahkan hanya membalasmu dengan dengusan perlahan. Aku lelah, Bram. Aku sedang malas berdamai dengan siapapun, terlebih dengan Semesta. Berdamai dengan diriku sendiri saja telah menyita sekian banyak tenaga dan aksara, biarkan aku menikmati pemberhentianku yang sekedar ini.

Kau bilang, kau hanya butuh 1 pelukan dariku sebelum bertahun - tahun lalu aku memutuskan untuk pergi? Hei, aku sudah pulang sekarang, sini, ku peluk kamu.

Dari pojokan kafetaria yang sengaja ku penuhi dengan komik Kung Fu Boy, Bogor pun ternyata tak mampu membuatku tak teringat kamu. Dan seringaimu yang penuh percaya diri serta menyebalkan itu, lalu tanganmu yang kau sodorkan kepadaku, sambil berkata : "Ayo pulang, sudah gelap. Lanjutkan saja kesalnya di rumah nanti."

Harusnya aku ikut memandikan jenazahmu, Bram... jadi aku tak mesti begini, rindu kepada orang yang sudah mati.

Bogor, 30 Agustus 2014

Comments

Popular Posts