The Amazing Spider-man 2 : All Hail To Marc Webb!
Sewaktu menonton The Amazing Spider-man yang pertama di tahun 2012, saya langsung menggilai Andrew Garfield, dan otomatis membandingkannya dengan Tobey Maguire. Jelas ada perbedaan yang sangat signifikan diantara keduanya. Tobey tidak se-menggemaskan Andrew saat berperan menjadi Spider-man, entah mengapa saya mudah melupakan cecap rasa ketika mengingat Tobey yang menjadi Spider-man ketimbang saat Andrew yang memerankannya.
The Amazing Spider-man 1 & 2 terasa sangat segar, begitu mudah mendeteksi rasa dan reaksi yang saya dapatkan ketika menonton keduanya. Ditambah lagi dengan segala macam efek grafis yang makin gila dan menipu mata, The Amazing Spider-man 1 & 2 sungguhlah suguhan yang komplit yang pernah Marc Webb ciptakan.
Skenario The Amazing Spider-man 2 memiliki plot yang membuat saya berdebar–debar, tak sabaran ingin mengetahui hasil akhirnya. Apa yang telah diciptakan oleh Richard Parker ketika masih bermitra dengan Norman Osborn, sampai harus pergi meninggalkan Peter Parker yang masih kecil. Kekecewaan Peter Parker dan Harry Osborn melebur menjadi satu, namun menjelma menjadi wujud yang berbeda. Peter dengan hasil ciptaan ayahnya, Richard, telah menjadi pahlawan semua orang, sementara Harry dengan kutukan turun temurun dari trah keluarga Osborn telah mengubahnya menjadi sesuatu yang tak ia inginkan, namun dapat ia gunakan untuk membalaskan sakit hatinya.
Konflik yang ada di The Amazing Spider-man 2 terasa sangat intense, terasa begitu personal. Kedua anak laki–laki yang datang dari background keluarga yang sangat berbeda, memiliki kepintaran diatas rata–rata, berbagi rasa sakit yang sama ketika mereka berasumsi, bahwa orang tua mereka tidak menginginkan mereka lagi. Bukanlah hal yang mudah untuk mampu membuat penonton dapat merasakan karakter yang mereka perankan disini. Andrew Garfield dan Dane DeHaan berhasil membuat saya keluar dari bioskop dengan mata sembab, dan dada yang sesak, penuh dengan rasa amarah dan kecewa. Saya merasakan kekecewaan yang sama di peran yang mereka mainkan, sebagai seorang anak yang merasa dicampakkan oleh kedua orang tuanya, dan setengah mati berusaha untuk tetap menjalankan kehidupan sehari–hari dengan memakai topeng untuk mengecoh orang–orang di sekeliling mereka.
Selain itu, Marc Webb juga memberikan porsi yang cukup banyak dan tak kalah penting pada Electro/Max Dillon yang diperankan oleh Jamie Foxx. Max Dillon, the invisible guy, mengabdikan dirinya kepada Oscorp Industries selama belasan tahun dan merancang pembangkit listrik yang dapat memenuhi semua kebutuhan masyarakat New York tak terbatas waktu, 24/7. Electro tercipta berdasarkan rasa tak peduli rekan–rekan kerja Max atas keselamatan dirinya ketika ingin memperbaiki jaringan listrik yang rusak. Max yang kesepian dan haus akan perhatian orang lain terhadap dirinya, berhasil membangkitkan sisi gelapnya setelah berubah menjadi Electro.
Saya melihat Dane DeHaan memerankan Green Goblin seperti melihat Heath Ledger ketika memerankan Joker. Mereka berdua tenggelam di karakter kedua tokoh tersebut begitu dalam. Terlihat jelas di kedua mata mereka. Penuh dengan amarah, sakit hati, kekecewaan serta kegilaan yang mampu menggoyahkan sisi baik manusia manapun. Gesture yang penuh dengan signature serta kode yang disampaikan hanya dengan lirikan mata, sanggup membuat bulu kuduk saya tak berhenti meremang ketika wajah mereka muncul dimanapun. Mereka dengan hebatnya membangkitkan karakter tokoh – tokoh tersebut dengan cara yang tidak biasa. Dan ini tidak ada kaitannya dengan efek visual, murni karena pendalaman karakter dan eksplorasi tanpa batas ruang dan waktu.
Siapa yang tidak meneteskan air mata saat scene dimana Peter memeluk Gwen yang terkulai lemas dan mengakui bahwa ia tak akan mampu bertahan menjadi Spider-man bila tanpa bantuan dari seorang Gwen Stacy? Ini mengingatkan saya, bahwa tidak banyak orang diluar sana yang betul–betul menerima saya baik dan buruknya. Dengan alter ego ataupun tidak dengan alter ego. Kebanyakan orang hanya akan mampu menerima satu sisi saja, karena mereka merasa, bahwa satu sisi saja sudah begitu merepotkan dan menyita banyak waktu, apalagi bila ada dua sisi atau lebih. Sebagai Peter Parker, ia tahu bahwa (mungkin) hanya Gwen Stacy yang mampu menerima dirinya baik sebagai Peter Parker maupun sebagai Spider-man.
Keseluruhan scene di The Amazing Spider-man 2 disuguhkan dengan sangat baik. Visual, scoring, soundtrack, pengambilan angle kamera.. walau ada stuntman yang beberapa kali terlihat dengan jelas, namun saya dapat memakluminya. Terutama untuk fighting scene antara Spider-man VS Electro ataupun Spider-man VS Green Goblin. Marc Webb dan team nya berhasil membuat fighting scene terlihat begitu comical, terlihat sangat seru, dibarengi dengan scoring yang musiknya kebanyakan diambil dari genre Industrial Metal, Electro House, sampai Dub Step. Tak heran rasanya bila Hans Zimmer lagi–lagi yang didaulat untuk mengerjakan music scoring nya. Saya masih ingat betul setiap scoring yang ia hasilkan, begitu mudah melekat di telinga dan ingatan saya. Yang paling tak bisa saya lupakan adalah scoring Inception dan juga The Dark Knight Trilogy.
Marc Webb sudah berhasil menawan hati saya dengan video klip “Ocean Avenue” milik Yellowcard, atau “Goodnight, Goodnight” milik Maroon 5 atau “21 Guns” nya Green Day, dan juga film “500 Days of Summer” yang super ngehek itu, dan sampai detik ini, saya masih tertawan dengan The Amazing Spider-man 1 & 2. All hail to Marc Webb!
From 1 to 10, The Amazing Spider-man 2 for me is 9.5!
Karena kesempurnaan hanya milik Allah dan Andra & The Backbone.
Comments
Post a Comment