Sisi Gelap Himne Perang Akhir Pekan
Pertama kali melihat Down For Life saya langsung teringat akan Hatebreed, seperti melihat Godless Symptoms, langsung teringat akan Municipal Waste. Waktu mendengarkan musiknya? Kedua band Indonesia tersebut ada di level yang sama dengan Hatebreed atau Municipal Waste, saya sangat menikmatinya. Hasrat untuk headbanging susah ditolak, serta ingin segera membenturkan tubuh saya ke tubuh metalhead lainnya di mosh pit, ketika mereka on stage.
Saya diperkenalkan oleh Down For Life pertama kali secara tidak sengaja saat hadir di gig Reign of Sepsis tahun 2012, di Bulungan Open Air. Genderang perang bertalu–talu ketika Prosa Kesetaraan dimainkan sore itu, 2 tahun lalu. Atmosfer mosh pit berubah sedemikian drastisnya, mengamini setiap lirik yang dimuntahkan Stephanus Adjie. Saya berada di tengah mosh pit, menganggukkan kepala dengan semangat, menikmati hentakan drum yang membobardir dada dengan gegap gempita. Sound yang apik, menusuk dengan tepat, dan tidak menyakitkan kedua telinga saya.
Ketika akhirnya “Himne Perang Akhir Pekan” menjadi satu kesatuan yang utuh, dari hulu ke hilir, tak berhenti saya diajak oleh Down For Life untuk mencermati sisi gelap diri sendiri, golongan tertentu, konsep Ketuhanan, hingga persoalan di Negara ini. Nuansa album ini sangat kental dengan poin–poin tersebut, dan saya berhasil menemukan the evil side dari setiap lirik yang menyatu begitu kuat dengan komposisi musik yang sangat sangat tidak mudah untuk dicecap sekali waktu saja.
Pada awalnya, saya sangat sulit untuk menikmati kesuluruhan dari album ini, perlu waktu untuk dapat sampai di titik tersebut. Sama hal nya ketika pada umur 13 tahun saya mulai membaca Marx, Nietzsche atau Freud. Kepala terasa berat, nafas memburu tak keruan, sampai akhirnya tumbang di pembaringan dengan keringat dingin yang mengucur deras. Ini bukan reaksi berlebihan pertama yang saya dapati ketika ingin memahami satu album secara menyuluruh. Saya mendapatkan reaksi yang serupa di album The Battle of Los Angeles, The Nekrophone Dayz, Use Your Illusion I & II, Chinese Democracy serta Wish dan Disintegration.
Sewaktu Stephanus Adjie bertanya apa pendapat saya soal album ini, saya cuma bisa bilang : "This album is just a heavy album. Some deep and serious shit on it." Sangat wajar rasanya, bila banyak pihak, salah satunya adalah Rolling Stone Indonesia, memproklamirkan bahwa “Himne Perang Akhir Pekan” menjadi salah satu album terbaik di tahun 2013. Dan masuk ke dalam #ReadersChoiceAward dalam #PemiluRSI tahun ini. Sudah ikutan menyumbang suara di pemilu tersebut, belum? Bila belum, sila cek disini. It will bring ‘em to the next level.
Saat menuliskan ini, iTunes saya sedang memutarkan “Liturgi Penyesatan” track kesembilan di album “Himne Perang Akhir Pekan”. Jadi teringat reaksi pertama ibu saya, ketika saya menyetelnya di DVD player saya beberapa bulan lalu : “Mereka nggak takut diprotes tuh? Masukkin yang begituan ke musik Metal macam itu?” sambil bersedekap memandang saya dengan penuh rasa penasaran, dan juga khawatir. :D ini bukan kali pertama sih saya menerima reaksi dan komentar serupa dari Ibu, tapi karena sudah belajar untuk menahan diri dan lebih ingin membangun komunikasi yang baik dengan Beliau, saya cuma menjawab : “Kalau mereka mau protes ya protes aja, toh ini sudah menjadi satu karya yang dibicarakan banyak orang, karena nggak berada di jalur yang biasa.” Lalu ibu melengos dan keluar kamar :D
Itu kenapa saya bisa bilang, album ini album yang berat. Yang sudah punya album ini pasti sudah lihat di dalam cover albumnya, Last Supper versi Down For Life. Buat saya, foto itu tidak menjadi sebuah parodi yang asal–asalan, karena ide gila yang tercetus di sela–sela percakapan sambil minum kopi saja. Kenapa pada akhirnya konsep photoshoot itu tetap dilakukan dan akhirnya dimasukkan ke dalam cover, pasti melalui pertimbangan yang matang. Ini nggak sekedar parodi, ada pesan di dalam foto tersebut, dan pesannya berbeda dengan versi aslinya. **lalu telepon Stephanus Adjie dan langsung tanya pesannya apa** :D
Ada rentetan peristiwa yang berbeda namun berkaitan satu sama lain dari setiap lagu yang ada di album ini. Dimulai dengan Panis Angelicus yang mampu membuat siapapun yang mendengarnya, bergidik, teringat akan kelas minggu yang terlewat atau bahkan, film Stigmata. :D itu sih saya, entah kenapa waktu mendengar lagu ini, yang teringat langsung film tersebut. Erat kaitannya dengan kerinduan saya akan kehadiran Tuhan di keseharian yang rasanya sudah tenggelam terlalu lama di rutinitas yang itu–itu saja. Monoton.
Ingin sekali rasanya mendoktrin Ibu saya dengan mendengarkan album ini berkali–kali sampai saya rasa, Ibu sudah cukup mengerti bahwa ada banyak hal yang lebih penting ketimbang cuma urusan Agama. Tapi saya sadar, sudah sekian puluh tahun saya dan Beliau bersebrangan untuk persoalan yang satu ini, namun kami masih mampu saling kompromi satu sama lain. Jadi ya urungkan saja deh niat tersebut, seperti Ibu mengurungkan niatnya untuk membujuk saya kembali ke jalan yang benar namun dalam versi Beliau :D
Laksana setiap pribadi yang memiliki himne hidupnya masing–masing, “Himne Perang Akhir Pekan” menjadi salah satu himne yang akan saya mainkan setiap hari, agar menjadi pengingat, bahwa masih banyak hal yang harus tetap dijaga selain soal Agama dan kepercayaan yang saya anut. Misalnya, berpesta dan tetap menjejak tanah walau jiwa tengah mengawang ke langit dan disambangi dewa–dewi yang merepetkan pujian tak tentu arah. Karena bahkan dewa–dewi sekalipun pasti memiliki tipu muslihat dan jebakan, semata–mata ingin mengetes ras manusia akan kesetiaan dan ideologinya.
Bila ada yang belum mendengarkan album ini, segerakanlah berburu CD nya, dengarkan dan cermati dengan seksama, lantas bersiap menemui sisi gelap diri sendiri terlebih dahulu, sebelum pada akhirnya dengan mata telanjang, anda akan dapat melihat sisi gelap dari berbagai aspek lainnya.
Comments
Post a Comment