Barusan Lewat
Ada orang yang berbuat salah, namun tak merasa sedikitpun bersalah. Ada orang yang merasa sudah berbuat salah, namun tetap memilih bungkam. Ada orang yang jelas berbuat salah, namun teriak kesakitan lebih dari yang telah ia sakiti.
Lantas ada yang bertanya, niat awalmu itu bagaimana toh? Rentetan pembelaan serta pembenaran mengalir deras.
Pertanyaan selanjutnya, tujuanmu kemana toh? Ratusan angan–angan yang masih tergantung tinggi, tanpa usaha menggapainya pun terucapkan.
Bukan ingin sok menggurui soal hidup, hanya memberikan beberapa contoh serta bukti nyata yang sudah pernah dialami dan dijalani dengan skenario yang persis sama, akan seperti apa hasilnya.
Terlalu banyak menuntut. Terlalu banyak meminta.
Terlalu banyak mengeluh. Terlalu sering mengumbar derita yang dibuat diri sendiri.
Terlalu ingin menjadi AKU, bukan DIA, atau MEREKA.
Apalah arti diamnya aku ini, bila ketika kau meminta saran pun hanya mampir sebentar di telinga dan di kepala, bahkan lolos begitu saja dari hatimu yang (katanya) ringkih itu.
Kau sendiri pernah bilang bukan, bahwa kau lebih senang menjadi pembicara ketimbang menjadi pendengar, bahkan untuk dirimu sendiri. Maka tidak heran, bila kau membuat dirimu tersesat dengan segala ocehanmu itu.
Bila kau merasa hidup, atau bahkan Tuhan itu tidak adil kepadamu, sudah mencoba melihat ke sekelilingmu? Bandingkan. Dengan seksama.
Siklus kehidupan hanya sekejap mata, mau sampai kapan membuat dirimu dan orang lain di sekitarmu kecewa terus menerus?
Dan bahwa hidup itu memang tak melulu tentang menaati peraturan. Namun jangan sampai kau menyakiti tangan–tangan yang telah dan sedang memberikanmu penghidupan.
Karena lewat mereka lah, Tuhan memberikanmu begitu banyak berkah dan kesempatan. Kesempatan untuk memperbaiki diri terutama.
Jadi, mau sampai kapan isi kepala hanya sebatas wacana dan rasa takut? Sudah waktunya menciptakan kemungkinan, ketimbang menunggu kemungkinan itu datang, entah kapan.
Comments
Post a Comment