(Smith, Kiedis, Frusciante, Flea)
Apa yang terlintas pertama kali di kepala kalian semua, ketika kalimat ini berkumandang : “Give it away, give it away, give it away now” ? Kalau saya, jelas langsung terbayang kejayaan tahun 90-an, serta 4 orang pemuda yang seluruh tubuhnya dipenuhi glitter, menari – nari tak jelas juntrungannya, sambil meliuk–liukkan jemarinya dengan lentik dan menjulurkan lidahnya berulang – ulang kali.
4 orang pemuda itu, lantas kita kenal dengan nama Red Hot Chili Peppers. 1991 pertama kali melihat video klip “Give It Away” saat kakak seorang teman saya memutar laser disc miliknya. Saya terpaku, melongo, takjub serta tak dapat melepaskan pandangan saya dari Flea dan Anthony Kiedis yang begitu dinamis, melompat kesana – kemari seakan tak takut kelelahan. Kakak teman saya lantas berujar : “Ini yang namanya Funk ga, gimana? Suka?” tanpa ragu, saya langsung menganggukan kepala saya berkali–kali.
Pulang dari rumah teman saya itu, saya dibekali kaset Blood Sugar Sex Magik. Tidak, tidak ada kesalahan dalam penulisan judul album tersebut, memang sengaja dibuat menjadi Magik ketimbang Magic. Mungkin karena producer dari album tersebut adalah the mighty Rick Rubin, serta tempat recording albumnya di The Mansion, yang konon tempat tinggal dari sang master Harry Houdini, maka jadilah Magik, hahahaha..
Blood Sugar Sex Magik penuh dengan sexual innuendo, rasa takut akan kehilangan jati diri, serta kehilangan itu sendiri. Sewaktu mendengarkan lagu Blood Sugar Sex Magik dengan seksama selama seminggu penuh, saya membayangkan Anthony Kiedis setiap malamnya, rebah di sebelah saya, berbicara melalui lirik–lirik yang ia buat di lagu ini, sambil membekap mulut saya dengan bibirnya. Under The Bridge menjadi salah satu lagu yang mencerminkan musik di tahun 90-an. Hanya dengan mendengar petikan gitar di intro pertama saja, saya yakin isi kepala semua orang yang pernah hidup di jaman kejayaan tahun 90-an, pasti langsung melanglang buana. Rambut panjang bak gadis sunsilk milik Anthony Kiedis, Trucker cap nya Chad Smith, Beanie Hat nya John Frusciante sampai rambut biru dan kolornya Flea, bercampur menjadi satu di lagu ini.
Sayang John Frusciante yang pada saat itu tengah kecanduan akan heroin dan cocaine, memilih untuk tidak muncul di salah satu tour mereka di Jepang pada tahun 1992, setelah sebelumnya berkali–kali bertengkar dengan Kiedis. Posisi Frusciante lantas digantikan oleh Dave Navarro, gitaris Jane’s Addiction. Saya pribadi, merasa kurang sreg dengan riff yang diciptakan oleh Navarro, dibandingkan dengan Frusciante, Navarro bagai selongsong peluru kosong, tidak ada soul. Ini pendapat saya selama Navarro ada di RHCP ya, bukan saat Navarro berada di Jane’s Addiction. Jelas berbeda sekali atmosfer yang saya rasakan posisi Navarro di kedua band besar tersebut.
Album One Hot Minute sendiri terdengar begitu kental unsur Funk, Psychedelic Rock serta Heavy Metal, bawaan dari Navarro, tidak mengherankan memang. Di lagu Aeroplane, riff yang diciptakan oleh Navarro, sangat – sangat psychedelic rock buat saya, dan ada part dimana saya merasa, bahwa Navarro “mengundang” Frusciante bermain dengannya di lagu tersebut. One Hot Minute menjadi salah satu album RHCP yang begitu dark, penuh dengan kesedihan, serta kecanduan akan drugs yang makin sulit diatasi Kiedis dan Navarro. Dengan jujur Kiedis pernah berkata bahwa, membuat lagu dan menulis lirik bersama Navarro tidak sebegitu intense dan tidak begitu “klik” ketimbang ketika ia melakukannya bersama Frusciante. Ikatan yang berusaha mereka ciptakan di album ini tidak benar–benar terjalin, dan terjadi. Hanya sekedarnya saja.
Namun lagu Tearjerker berhasil membuat saya menangis tersedu. Kiedis membuat lagu ini untuk alm. Kurt Cobain (Nirvana), sulit menampik kenyataan bahwa personil RHCP dengan Cobain sangatlah dekat satu sama lain, dan saat itu Kiedis tersadar, bahwa siapapun dapat kehilangan orang yang sangat mereka sayangi, kapan saja, dimana saja. Berita tentang kematian Kurt Cobain menjadi salah satu kehilangan terbesar di dunia pada saat itu. Terlebih lagi, pada saat itu industri musik sedang gencar–gencarnya dihantam oleh Grunge serta sosok paling kontroversial sepanjang masa, yakni Kurt Cobain itu sendiri.
Tunggu punya tunggu punya tunggu, setelah sempat melakukan audisi gitaris berulang–ulang kali, akhirnya Frusciante kembali ke RHCP atas saran dari Flea. Flea berkata kepada Kiedis, bahwa Frusciante pasti akan senang sekali bila dapat kembali ke RHCP, apalagi kalau Kiedis mau bicara dan bertemu langsung dengannya sambil menyelesaikan permasalahan pribadi mereka yang tidak pernah selesai itu. Kiedis menerima saran dari Flea tersebut, sampai akhirnya muncul lah album ketujuh mereka di tahun 1999 Californication.
Smith, Kiedis dan Flea bahu membahu membantu Frusciante agar segera pulih, baik secara mental maupun psikologis. Rehabilitasi yang dijalani oleh Frusciante sempat membuat tubuhnya hancur, bahkan gigi–giginya patah satu per satu karena dampak dari penggunaan cocaine yang berlebihan. Lagu Otherside menjadi salah satu lagu paling dark setelah Under The Bridge dan Tearjerker. Kiedis dan Frusciante berhari–hari duduk bersama, berusaha merampungkan lagu ini, dengan riff yang tidak biasa, serta hentakan drum milik Smith terdengar sangat berbeda di lagu ini ketimbang di lagu–lagu sebelumnya. Lagu ini menjadi sebuah bukti berjalan, bahwa dalam keadaan yang serba sulit untuk menstabilkan mental, RHCP masih berusaha menuangkan segala ekspresi yang mereka miliki menjadi sebuah karya.
Gitaris manapun, bila mendengar melodi di lagu Scar Tissue, pasti otomatis memejamkan mata mereka sejenak, sambil mengingat–ingat sosok Frusciante yang sedang memainkan sebuah gitar yang patah diatas convertible car, dengan tangan yang dibalut perban, serta wajahnya yang kelihatan sedang orgasme, lalu setelah itu ingin segera pulang dan mengulik nada–nada tersebut, hahahaha.. ini pengalaman beberapa teman saya yang gitaris sih sebenarnya.. Di part terakhir, setelah Kiedis sudah tidak bernyanyi, saya merasakan Frusciante berusaha menyayat hati saya melalui melodi yang ia mainkan sampai lagu habis. Soulful, full of anguish, ia bercerita lewat gitarnya, dan saya yakin semua fans RHCP menyadari itu.
Di lagu Road Trippin’ saya lebih menikmati suara Frusciante yang terdengar jelas dari belakang suara Kiedis sampai lagu berakhir. Saya selalu mendengarkan lagu ini ketika dalam perjalanan pulang, dan selalu saja ada keinginan untuk kabur dari kota ini, dari Negara ini bila mendengarkannya dengan seksama. Bahwa sudah waktunya untuk saya tidak lagi terpaku dengan rutinitas yang itu–itu saja, bahwa hidup yang saya miliki harganya melebihi apapun yang ada di dunia ini, bahwa sebenarnya saya hanya ingin tenggelam di kesendirian saya, tanpa perlu repot bersosialisasi lagi. Ah, lagu ini begitu sentimental.
2002, RHCP kembali dengan By The Way yang penuh dengan kegembiraan, sound yang sangat jauh berbeda dari ketujuh album sebelumnya, lirik yang lebih ceria, penuh dengan cinta, video klip yang sangat entertaining, serta Chad Smith yang tampak jauh lebih tua daripada ketiga personil lainnya, hahahahaha… Di video klip By The Way, saya sempat berpikir bahwa supir taksi yang ditumpangi oleh Kiedis adalah Smith, karena, sumpah, mereka mirip banget! Gesture, mimik wajah, serta lengkungan di bibir mereka sangat mirip. Tapi memang Smith nggak akan mau sih melakukan tarian sensual seperti yang dilakukan supir taksi tersebut xD
Sejujurnya saya nggak suka sama sekali dengan visual video klip The Zephyr Song. Bikin pusing dan mual. Tapi karena lagunya memiliki rasa yang sama dengan arti dari judul lagu itu sendiri, ketika video klip ini dimainkan di TV, saya memilih untuk memejamkan mata, dan membuka telinga lebih lebar dari biasanya. Sambil memejamkan mata, lantas saya bertanya kepada diri saya sendiri, benarkah mereka adalah 4 pemuda yang pertama kali saya lihat jumpalitan kesana kemari? Benarkah mereka masih pribadi yang sama ketika menciptakan lagu ini sambil rebah diatas karpet studio?
Saya baru membuka mata saya, ketika iPod saya memainkan Can’t Stop dengan megahnya. ADUH!! SOUND GITARNYA GARING BANGET!! Begitu rutuk saya dalam hati sambil cengengesan, dan nggak yakin apa orang lain akan mengerti maksud dari kalimat saya, bila saya mengajak mereka berdiskusi tentang lagu ini suatu hari nanti, hahahahaha… lagu ini membuat saya tidak dapat berhenti menggoyangkan badan, sambil mengibas – ngibaskan rambut saya laksana Frusciante yang sedang kesurupan sambil memainkan gitarnya diatas panggung. Terdengar dan terlihat dengan jelas sekali, bahwa Frusciante akhirnya menemukan dirinya kembali bersama RHCP. Melodi dan riff yang ia ciptakan di album begitu tegas, tidak ada keraguan sama sekali, berbeda jauh dengan album Californication.
Lagu I Could Die For You, menjadi salah satu lagu yang mencerminkan rasa cinta Kiedis kepada pacarnya pada saat itu. Lagu cinta yang nggak terdengar menye–menye, lagu cinta yang bahkan tidak terdengar romantis buat saya. Kiedis menyanyikannya dengan gayanya yang straight to the point, memuja kekasihnya tanpa tedeng aling–aling, mempersembahkan cinta yang ia punya hanya untuk kekasihnya seorang. Dan itulah hidup yang ia pilih. Hanya mencintai kekasihnya. EH, BISA ROMANTIS JUGA YA DIA TERNYATA!! Hahahaha…
Album kesembilan! Bertajuk Stadium Arcadium menjadi album dengan track list terbanyak yang pernah RHCP buat. Stadium Arcadium terbagi menjadi dua disc, yang pertama adalah Jupiter dengan total track sebanyak 14 lagu, dan yang kedua adalah Mars, dengan total track sebanyak 14 lagu pula. Album ini juga rilis dalam format 3D shadow box dengan beberapa item tambahan dan juga sebuah DVD yang berisi pembuatan video klip Dani California, sungguh box set yang diciptakan dengan jumlah yang sangat terbatas :(
Dani California menjadi video klip RHCP yang paling saya suka! Kenapa? Aduh, siapa yang bisa nolak penampakan RHCP berperan sebagai Elvis Presley, David Bowie, Motley Crue, The Misfits, Nirvana sampai The Beatles! Walau sebenarnya lagu ini sedikit terdengar seperti lagu Sweet Home Alabama nya Lynyrd Skynyrd di awal, tapi sampai lagu habis, identitasnya tetap RHCP :D for god sake’s! Chad Smith cocok banget jadi tante – tante di video klip ini! xD
Frusciante kembali hengkang dari RHCP, kali ini dengan kondisi yang jauh lebih kondusif dengan personil lainnya. Frusciante memilih untuk fokus dengan rencana solo karirnya, dan posisi Frusciante digantikan oleh Josh Klinghoffer, additional guitarist RHCP yang sudah lama ikut bersama mereka, dan sedikit banyak sudah seperti bagian dari RHCP itu sendiri.
I’m With You menjadi album kesepuluh RHCP, dengan visual video klip yang jauh lebih cling, namun masih saja memperlihatkan kelakuan absurd para personilnya :D kecuali si anak baru Josh Klinghoffer ya, masih terlihat malu–malu dan pendiam di video klip pertama mereka yang bertajuk Look Around. Saya sempat terheran–heran dengan penampakan bentuk tubuh Kiedis yang tidak mengalami begitu banyak perubahan, padahal di umur 50-an, biasanya bentuk tubuh dan stamina mulai berkurang, ah well.. apa kabar dengan Smith dan Flea? Mereka juga terlihat malah makin menjadi di video klip ini, hahahahahah.. gelo!
Kehadiran Josh Klinghoffer cukup membawa atmosfer dan soul yang baru ke dalam RHCP di album ini, namun buat saya, lebih baik Josh jangan mengisi back vocal deh :| warna suaranya kurang match dengan karakter Kiedis, yang kadang bernyanyi dengan berbicara, nge-rap dan setiap perubahan gaya bernyanyi yang dilakukan Kiedis, kurang cocok dengan Josh. Seperti pada saat saya menonton RHCP Live in Coachella 2013 melalui youtube beberapa waktu lalu, suara Josh sama sekali tidak dapat berharmonisasi dengan Kiedis, balapan malah. Memang beda sih ya kalau misalnya sudah menonton langsung di depan mata, dengan melihat hasil rekaman di youtube. Tapi kayaknya pendapat saya belum akan berubah dalam waktu dekat.
Tahun 2013 kemarin RHCP sedang mempersiapkan album kesebelas mereka sampai sekarang, sambil menunggu, kenapa ya belum ada promoter yang berani membawa mereka ke Jakarta? Dengar – dengar dari beberapa agent yang saya kenal melalui teman, mereka nggak se-sulit U2 atau Radiohead kok, apalagi Kiedis sendiri (menurut gossip yang beredar – red) pernah berkunjung ke Kalimantan buat sekedar bikin tattoo disana. Atau kalaupun misalnya RHCP perform di Bali, saya sih sudah pasti bakalan nekat kesana, ini demi cita – cita saya untuk memperlihatkan tarian Give It Away versi saya di hadapan mereka berempat langsung! (Eh, kalau bisa sih sama Frusciante, bukan dengan Klinghoffer xD – red)
Walau tidak terlalu menyimak beberapa album sebelum Blood Sugar Sex Magik, dan lebih mendengarkan album RHCP dari awal tahun 90-an sampai sekarang, buat saya pribadi, masterpiece mereka masih Blood Sugar Sex Magik. Jelas adanya, bahwa magik benar – benar bekerja pada saat album tersebut dibuat. Dan orang – orang yang mendengarkannya otomatis terperdaya oleh mereka. Coba saja dengarkan Blood Sugar Sex Magik di dalam kamar kalian, dengan penerangan yang remang – remang, sambil menyesap bir dingin atau jekdi, niscaya kalian akan berhadapan dengan magik itu sendiri. Saya sudah melakukannya berulang – ulang kali selama 27 tahun saya hidup, dan masih menemukan hal – hal yang cukup mengejutkan setelahnya :D