Parawhore!
Bila menyebut nama Paramore, saya pribadi langsung teringat dengan rambut Hayley Williams yang berwarna orange, seperti buah jeruk. Paramore adalah sebuah band yang menguasai genre Alternative Rock, Pop-Punk serta Emo.
Emo yang tidak menye–menye, Emo yang tidak mengajak para pendengarnya untuk segera menyayat pergelangan tangan mereka, Emo yang tidak melulu tentang pesimis, melainkan kesadaran diri tentang betapa mereka pesimis namun juga optimis di saat yang bersamaan.
Hayley Williams menjelma menjadi sebuah icon, terkait erat dengan nama besar Paramore, layaknya Jordan Pundik di New Found Glory atau Ryan Key di Yellowcard.
Setelah Josh dan Zac Farro hengkang dari Paramore, pertanyaan pertama yang terlintas di kepala saya adalah ; apakah ini akan mengganggu stabilitas departemen lirik mereka? Memang ada perubahan di gaya penulisan lirik untuk album terbaru mereka yang bertajuk “Paramore” dan juga aransemen musik yang terasa begitu segar. Seberapa segar? Hayley, Taylor, dan Jeremy memasukkan sedikit unsur Gospel di album terbaru mereka tersebut, sama sekali berbeda dengan album yang sebelumnya, yakni Brand New Eyes.
Selain gaya penulisan lirik, dan aransemen musik, yang membuat album ini terdengar berbeda adalah si penabuh drum. Maka tersebutlah nama Ilan Rubin, mantan drummer Lostprophets, dan juga drummer dari Angels And Airwaves (side project Tom Delonge Blink 182) serta Nine Inch Nails. Keputusan masuknya Ilan Rubin ke dalam proses pembuatan album Paramore yang terakhir, saya rasa cukup banyak melibatkan Justin Meldal-Johnsen selaku produser dan juga Bassist dari Nine Inch Nails itu sendiri.
Namun alih–alih memasukkan sari–sari Industrial Rock, Justin malah mengambil sedikit sari Gospel sebagai “bumbu” yang sebelumnya tidak pernah dicicipi oleh para personel Paramore. Hasil dari racikan yang diciptakan oleh Justin terdengar dan terbaca jelas di lagu “Ain’t It Fun” dan “Part II”. Selain itu, Justin juga membuat atmosfer di beberapa lagu begitu riang, dan penuh dengan kembang api meletus dimana–mana ketika saya mendengarkannya. Sebut saja “Anklebiters” dan “Still Into You”.
Justin sebagai produser bukan saja menambahkan kekentalan Alternative Rock untuk Paramore, namun juga berhasil membuktikan bahwa setiap personel Paramore sudah mengerjakan “pekerjaan rumah” mereka dengan sangat baik, walau sempat kehilangan 2 orang personel dalam satu waktu.
Bicara tentang departemen lirik yang dimiliki oleh Paramore, saya selalu berhasil digugah untuk mencermati tidak hanya dua – tiga kali, melainkan lebih dari sepuluh kali dari setiap lagu yang selalu saya mainkan di playlist iPod saya.
All I Wanted (Brand New Eyes album)
“Emo banget ga!” atau “Menye – menye banget” bila memang terdengar seperti itu di telinga teman–teman saya atau Parawhore (sebutan untuk fans Paramore) lainnya, biarkanlah lagu ini masuk ke dalam daftar “Galau Berdistorsi” milik saya, hahahaha..
Untuk saya, kalimat “All I wanted was you” nggak melulu tentang keinginan memiliki seseorang, bisa saja tentang keinginan akan sebuah benda, atau jabatan, atau pengakuan. Kalimat itu dapat menjelma menjadi apapun.
Turn It Off (Brand New Eyes album)
Saya mengintrepetasikan lirik di lagu ini sebagai bentuk kesadaran diri akan zona nyaman yang sudah terlalu lama didiami, dan hidup yang sudah terlalu banyak dikelilingi orang–orang yang serba palsu, dan merekayasa solusi terus menerus. Sampai akhirnya tidak ada jalan lain, selain mengumpulkan nyali sambil membenturkan diri ke realita yang ada.
Sebuah lagu yang bisa membuat setiap orang berhenti dari aktivitas yang sedang dijalaninya, lalu membaca liriknya sambil berpikir, menyesap kopi atau bahkan menerawang keluar jendela, mencari- cari pembenaran yang ingin dilakukan atau diucapkan. Namun tak kunjung ditemukannya.
Franklin (All We Know Is Falling album)
Sejuta miliar persen saya yakin, lagu ini diciptakan ketika Hayley Williams pulang kampung ke Franklin, Tennessee dan bertemu dengan Josh dan Zac Farro dalam keadaan yang tidak stabil dan serba menduga– duga.
Misery Business (Riot! album)
Lagu ini mencerminkan gaya berkompetisi setiap wanita yang ada di muka bumi, hahahaha.. walau tendensi di lagu ini adalah soal laki–laki, namun saya rasa bisa diimplementasikan ke persoalan yang lain. Rebutan tempat duduk di angkutan umum misalnya, atau rebutan barang yang sama di salah satu toko sepatu/baju pada saat year end sale, hahahahaha..
Namun ketika saya membaca kalimat ini : Second chances they don’t ever matter, people never change. Once a whore you’re nothing more, I’m sorry, that’ll never change. Saya tidak bisa berhenti tersenyum sambil mengangguk setuju, lalu beberapa wajah lama terlintas di kepala saya, hahahaha….
When It Rains (Riot! album)
Hujan memang akan selalu menjadi sebuah pelatuk yang penuh dengan romantisme, kenangan pahit, getir, manis dan asam bercampur menjadi satu, serta momen–momen yang dirasa akan sangat dramatis. Menunggu hujan reda menjadi salah satu kegiatan yang cukup menguras hati untuk saya, sementara berlari menembus hujan sendirian selalu mengingatkan saya akan masa – masa kecil yang penuh keberanian, nyali tanpa batas.
Saat hujan turun, entah itu deras ataupun gerimis, dapat menggenggam tangan kekasih saja sudah berhasil menenangkan hati yang mulai khawatir akan kunjungan petir yang tiba–tiba, atau kilat yang membuat kita otomatis menutup mata. Saat hujan turun, merangkul pundak atau bahkan memeluk tubuh orang yang kita sayangi, dapat menjelma menjadi perapian yang begitu hangat tanpa ada suara gemeretak kayu yang habis dilahap api.
Misguided Ghosts (Brand New Eyes album)
“Well now I’m told that this is life, and pain is just a simple compromise, so we can get what we want out of it. Would someone care to classify, of broken hearts and twisted minds, so I can find someone to rely on.”
Waktu yang tidak pernah dapat berkompromi dengan apapun atau siapapun. Kita, manusia, selalu ingin berkompromi semata–mata demi hidup yang lebih baik dari hari kemarin. Berpetualang kesana–kemari, ada yang mencari “alamat” ada juga yang masih mencari “jati diri” dan bahkan mencari “pembenaran”. Lantas tersesat akibat perbuatan sendiri, walau sekian banyak tanda dan gejala sudah berdiri tegak telanjang dada di depan mata.
Playing God (Brand New Eyes album)
“If God’s the game that you’re playing, well we must get more acquainted. Because it has to be so lonely, to be the only one who’s holy. It’s just my humble opinion, but it’s one that I believe in. You don’t deserve a point of view, if the only thing you see is you.”
Mentor saya pernah berkata : “Jangan berlagak memerankan Tuhan, bahkan seujung kuku pun jangan pernah kamu coba ga, walau semisal memang hidup–mati orang tersebut ada di tanganmu. Tetap kamu bukan dan tidak akan menjadi Tuhan siapapun, walau kau paksakan doktrin itu kepada mereka. Hati tidak akan pernah pandai berbohong, walau sekujur badan sudah berhasil kau gerakkan, ibarat boneka yang talinya dapat kau putus kapan saja kau mau. “
Grow Up (Paramore album)
Menjadi dewasa adalah pilihan. Bukan pilihan yang sulit sebenarnya, walau kadang lebih banyak jebakan dan godaannya ketimbang pilihan untuk tetap menjadi tidak dewasa, hahahaha..
Ingin sekali menampar diri sendiri ketika mulai memanjakan diri terlalu sering atau terlalu banyak. Ingin sekali menampar orang lain ketika sudah terlalu banyak meminta hak nya ketimbang menjalankan kewajibannya terlebih dahulu. Lagi–lagi, pilihan untuk menjadi dewasa, menjebak saya dengan paradoks yang tak berkesudahan. Namun masih akan terasa nikmat, ketika pilihan menjadi dewasa tersebut menjadi sebuah balas dendam yang tersaji dengan temperatur yang lebih dingin dari kutub utara.
Saya jadi rada bingung sendiri dengan kalimat yang terakhir.. hahahaha.. yah kira – kira begitulah pilihan untuk menjadi dewasa.
Ain’t It Fun (Paramore album)
“So what are you gonna do when the world don’t orbit around you?”
Para pencari panggung pasti langsung kelabakan sih kalau begitu kejadiannya, hahahahaha…
Still Into You (Paramore album)
“Can’t count the years on one hand that we’ve been together, I need the other one to hold you, make you feel, make you feel better. It’s not a walk in the park to love each other. But When our fingers interlock, can’t deny, can’t deny you’re worth it.”
Nggak mau komentar soal ini, terlalu pribadi, hahahahahaha….
Anklebiters (Paramore album)
Anklebiters sama derajatnya dengan Polisi Moral, sama dengan Tukang Menghakimi dan yang satu tipe lah dengan mereka :D
“Why do you care what people think? Are you hooked up to their leash? You know anklebiters, ate up your personality. Try to remember how it felt, to just make up your own steps, and let anklebiters chew up, spit out someone else.
And fall in love with yourself, because someday you’re gonna be, the only one you’ve got.
Why you wanna please the world, and leave yourself to drop dead? Someday you’re gonna be the only one you’ve got. What? Do you actually expect, a broken mirror to reflect? You know, anklebiters gave you a false perception.”
Paramore menghapus sebagian anggapan saya tentang band ber-genre Emo yang terlalu lekat dengan dalil “menyayat pergelangan tangan ketika galau” atau “manusia paling menderita se-dunia” atau “pemilik hidup yang tak pernah berhenti mengeluh” menjadi “Emosi boleh saja terombang–ambing tak keruan, namun masih akan selalu ada yang namanya harapan, asal tidak pernah mau mengalah dengan keadaan”
Saya ini salah satu dari sekian banyak Parawhore, kalau kamu gimana?
Numpang repost boleh? ^^
ReplyDeleteMonggo :)
ReplyDelete