Disappointment
May 14, 2013
Mari berhitung sudah seberapa banyak orang yang kita kecewakan. Mulai dari tahun ini saja, kalau memang ada waktu dan ingatan yang tak tergerus oleh waktu, mungkin bisa dihitung sedari kita sudah mengenal arti dari kata kecewa itu sendiri. Bukan pekerjaan mudah, mengingat sebagai manusia biasa yang terlalu banyak gengsi menunjuk diri sendiri ketimbang orang lain, tetapi bila sudah mampu memulai hal ini, maka langkah ke depannya pasti kita akan lebih berhati-hati untuk bersikap, mengeluarkan pendapat atau bahkan menghela nafas tanpa terburu - buru.
Saya seringkali berkata kepada diri saya sendiri dan ke beberapa orang terdekat, kira-kira kalimatnya seperti ini : "Bila kamu melakukan kesalahan, akuilah kesalahan tersebut,bukan malah sibuk mencari-cari pembenaran untuk diri sendiri." kalimat ini saya dapatkan dari Ayah tiri saya ketika saya menyerahkan surat panggilan untuk orang tua semasa SMP. Kesalahan saya pada waktu itu? meragukan pendapat guru Agama saya tentang Agama itu sendiri, berdasarkan buku yang saya baca "Petualangan Dalam Marxisme" (kalau tidak salah, buku tersebut sudah menjadi arang, dibakar oleh mantan suami saya)
Semenjak hari itu, saya menerapkan kalimat yang sudah Ayah tiri saya sampaikan dalam geraman menahan amarah. Lalu apa saya langsung memperbaiki diri? Oh, tentu tidak, saya terlalu muda, munafik, naif, egois, kepala batu untuk melakukan perbaikan diri semenjak dini. Saya makin menggila, menjadi pembuat masalah nomor wahid, menjadi api di dekat jerami dan kayu, membakar habis apapun dan siapapun yang berada di dekat saya. Lantas, masihkah ada yang mencintai saya setelah semua hal busuk dan bejat yang saya lakukan di masa lalu? Ada. Kedua orang tua (orang tua kandung tak masuk hitungan, karena beliau hilang entah kemana) saya yang senantiasa membuka pintu rumahnya yang hangat dan memberikan semua yang saya butuhkan, namun justru saya yang lari dari situ, lari dari comfort zone saya.
Saya seringkali merasa kecewa atas perlakuan orang lain terhadap saya. Janji yang dibatalkan, sikap yang tidak pantas diperlihatkan, dan banyak lagi alasannya. Dulu sewaktu saya kecewa, saya pasti langsung menyampaikan ke orang yang bersangkutan tanpa tedeng aling-aling, tanpa prolog, langsung hantam dan membuat orang tersebut membenci saya, karena otomatis saya pasti akan membenci dia, jadi marilah kita saling membenci.
Setelah bertemu dengan banyak karakter orang, hidup di jalanan, mendapatkan guru yang seringkali tidak terlihat seperti guru pada umumnya, saya tersadar, saya harus mengubah cara saya menyampaikan kekecewaan saya. Sebelumnya saya harus berpikir, mengingat apakah pada tahun-tahun sebelumnya saya pernah melakukan kesalahan yang sama, dan sekarang itu berbalik kepada saya? Oh, tentu saja, Tuhan tidak tidur, tidak buta dan tidak tuli. Apa yang kau tanam, itulah yang kau tuai. Saya menanam begitu banyak bibit kebencian di hati orang lain, sehingga kebencian tersebut berbalik kepada saya, seiring jalan dengan kekecewaan tersebut.
Maka setelah semua ini sudah semakin jelas, saya tidak lagi menyampaikan kekecewaan saya dengan pongah, penuh amarah serta jumawa, saya butuh kesabaran lagi untuk bisa merangkai kata-kata permintaan maaf, setelah itu barulah saya menyampaikan kekecewaan saya. Apa hasilnya? ada yang berkenan, ada yang tidak berkenan. Kebanyakan malah mencaci - maki sih :D anehnya sekarang saya tidak mudah tersinggung dengan caci maki sekelas : "Ega ngentot!" atau "Dasar perek lo ga!" atau "Elo gak pantes jadi leader ga!" atau "Bangsat lo ga!" tidak, saya tidak lagi mudah tersinggung. Saya hanya tertawa dan menghela nafas, lantas sekelebat pikiran ini muncul di kepala saya : "Oh, dulu gue pasti pernah giniin orang lain" ya sudah toh.. tidak usah diperpanjang lagi, bila mengeluarkan caci - maki itu dapat meringankan beban orang yang saya kecewakan, saya senang bisa membantu.
Orang-orang terdekat saya yang paling tahu tentang diri saya, saya tidak perlu lagi susah payah untuk meyakinkan orang diluar mereka bahwasanya saya bukan orang bangsat, bukan perek dan sebagainya. Saya memiliki keyakinan bahwa Tuhan pun menyetujui sikap saya ini, walau Dia tahu saya kecewa sudah dicaci-maki, tapi ini sebagian pembayaran yang harus saya lakukan. An eye for an eye. Fair enough.
Jadi, seberapa banyak orang yang sudah saya kecewakan selama 27 tahun saya hidup? Banyak. Mulai saat saya masih di rahim ibu, ketika saya mulai tumbuh bukan menjadi anak impian ibu, atau menjadi murid yang baik dari guru-guru saya di sekolah, teman-teman semasa sekolah, kuliah sampai sekarang, dan juga sahabat-sahabat saya. Bersyukur masih orang-orang yang sudi berbagi kehidupannya dengan saya sampai detik ini, selain keluarga. Dan kalian tahu persis siapa-siapa saja orang tersebut. Orang-orang yang selalu masuk daftar doa saya di setiap harinya, agar selalu mendapatkan kesehatan, rejeki berlimpah serta diberikan kekecewaan seminimal mungkin, baik dari saya maupun sekitarnya.
Saya enggan untuk menanam lagi bibit-bibit kebencian kepada orang lain. Sebisa mungkin saya ingin membawa setidaknya secuil kebaikan ketika berada di dekat mereka, ini salah satu pendaringan saya yang akan saya jaga sampai akhir hayat, sekedar untuk memperbaiki diri sambil terus belajar tentang hidup dan manusia. Tidak mudah, tapi bukan berarti tidak mungkin, bukan?
1 comments
lari dari comfort zone, setuju. ternyata sekarang saya sedang melakukanya.
ReplyDelete