Obat Bius Itu Bernama U2


source google.com


Pada awal tahun 1999, saya diperkenalkan dengan U2 oleh abang sepupu saya, yaitu Sondi Ardian. Setelah beberapa tahun sebelumnya saya sukses dibuat cinta mati dengan Guns N Roses, kali ini saya tidak dapat menghindar dari serangan U2 yang dikirimkan olehnya.

Lagu pertama yang Sondi Ardian perkenalkan kepada saya adalah : “With Or Without You” dari album The Joshua Tree (1987)dan juga “Where The Streets Have No Name” serta “I Still Haven’t Found What I’m Looking For” juga dari album yang sama.  Saya dibawa ke 12 tahun yang lalu, dimana atmosfer yang dihasilkan pada saat itu sangat jauh berbeda dengan tempat saya berpijak saat itu. The Joshua Tree, sebuah pohon yang dibilang oleh Adam Clayton sebagai pohon di padang pasir  yang sangat menginspirasi mereka secara mental dalam pembuatan album ini, betul–betul memberikan efek yang tidak sanggup saya bendung dengan kata–kata pada saat itu. Bahkan saya membutuhkan waktu 25 tahun untuk membuat tulisan ini, ini salah satu contoh, bahwa efek dari album itu tidak pernah pergi sedikitpun dari diri saya.

Kala itu tidaklah mudah bisa melihat salah satu video klip dari album tersebut, saya harus senantiasa duduk manis menyetel MTV sepanjang hari di kamar saya, hanya untuk mendapatkan penampakan salah satu video klip dari ketiga lagu yang saya sebutkan diatas. Sampai akhirnya, tengah malam buta, dan saya masih setia menunggu video klip diputar, muncullah video klip “Where The Streets Have No Name” (bahkan ketika menuliskan ini, bulu kuduk saya meremang-red).

Betotan bass dari Adam Clayton, hentakan drum milik Larry Mullen Jr. yang timbul dan menghilang namun bergema ke seluruh penjuru kamar saya, raungan dinamis khas The Edge serta lantunan suara Bono yang memiliki kekuatan magis, berhasil membuat saya gemetar, merinding sekujur tubuh serta menangis ketika menyaksikan video klip ini. Bukan sekedar perkara lirik lagu yang romantis penuh dengan pengorbanan, bukan pula sekedar melihat grafis video nya yang tidak terlalu luar biasa, bukan pula karena ketampanan Bono yang membuat saya menangis malam itu, melainkan “rasa” yang sampai sekarang sulit saya jabarkan dengan bahasa apapun yang saya ketahui.

Tahun 1999 resmi menjadi tahun U2 buat saya. Semenjak malam itu, saya berburu kaset U2 dari tahun–tahun sebelumnya, serta beberapa poster dan kaos yang saya beli di aldiron pada masa kejayaannya. Album Rattle and Hum, Achtung Baby, Zooropa& Pop otomatis menjadi album favorit saya berikutnya. Pop menampar ego saya dengan lagu yang berjudul “Staring At The Sun” yang menceritakan (ini hasil intrepretasi saya sendiri) tentang seseorang yang begitu sombong dan sekaligus takut untuk melihat kenyataan yang ada, lantas mempertanyakan kesanggupan Tuhan untuk mendengarkan segala keluh kesahnya.

Saya sempat bertanya kepada abang sepupu saya mengenai tema lirik di lagu ini, lalu abang sepupu saya bercerita tentang pribadi Bono yang sangat memperhatikan kondisi politik dan sosial di seluruh dunia. Lantas ini menjadikannya seorang aktivis yang giat melakukan pelbagai macam perlawanan terhadap hal–hal yang merugikan warga sipil di belahan dunia manapun.  Lalu Sondi berkata : “Itu kenapa gue ragu Bono mau bawa U2 manggung di Jakarta, kondisi sosial dan politik kita udah carut marut banget.”  Sondi berkata seperti itu di tahun 2000, 2 tahun setelah lengsernya Alm. Mantan Presiden Soeharto.

Zooropa membuat saya mengernyitkan dahi, terutama di lagu “Lemon”, “Babyface” dan “Stay (faraway, so close)” aransemen musik U2 di album ini mulai terdengar “aneh” di telinga saya, bukan aneh yang jelek, namun aneh yang mampu “menggelitik” logika sekaligus paradoks yang telah saya bangun selama beberapa tahun dengan nama : “Rumah U2” jauh di dalam kepala dan hati saya.

Di tahun yang sama, U2 kembali mengeluarkan album baru yang berjudul “All That YouCan’t Leave Behind”. Di sela–sela happening nya film Lara Croft : The Tomb Raider dan aktris pemeran utamanya, Angelina Jolie, U2 pun menyumbangkan 1 lagu dari album ini untuk dijadikan soundtrack film tersebut, yang berjudul “Elevation”. Sungguh inovasi aransemen tidak biasa yang berhasil membuat saya geleng–geleng kepala tidak percaya ketika pertama melihat video klipnya. Lagu ini aneh, lagu ini nggak U2 banget buat saya, namun saya tidak dapat berhenti mendendangkannya dimana saja, hahahaha.. dari sekian banyak lagu milik U2 yang asik untuk sing a long, lagu ini masuk ke dalam daftar tersebut.

U2 kembali “normal” di telinga saya dengan lagu berikutnya, masih dari album yang sama, yaitu “Walk On”. Lagu ini U2 dedikasikan untuk Aung San Suu Kyi, seorang aktivis prodemokrasi Myanmar dan pemimpin dari National League for Democracy (NLD) yang sesekali menjalani hukuman untuk diam di rumahnya tanpa diperbolehkan keluar dari sana sejak tahun 1989 sampai tahun 2010. Karena dedikasi yang diberikan ini, peredaran album “All That You Can’t Leave Behind” di Burma dihentikan, dan dipastikan tidak ada album U2 yang masuk kesana.

Setelah itu, saya sempat berhenti mendengarkan U2 atau berburu kaset dan posternya, sampai pada satu hari saya diperdengarkan lagu “Vertigo” dan “All Because of You” dari album terbaru mereka yang berjudul “How to Dismantle an Atomic Bomb” kecintaan saya akan U2 ternyata tidak berkurang sedikitpun, bahkan malah bertambah.

Tahun 2009 yang lalu, U2 kembali mengeluarkan album yang berjudul “No Line on TheHorizon” saya kembali dibuat jatuh cinta dengan “Maginificent”, “Breath” serta “No line on The Horizon”

Namun buat saya, all that I can’t leave behind is : “All I Want Is You”, “Where The Streets Have No Name”, “With Or Without You”, “Bad” dan “One” lima lagu tersebut adalah obat bius saya selama ini, koreksi.. U2 adalah obat bius saya selama ini. Saya merelakan jiwa saya terpasung bersama segala lantunan yang mereka hasilkan selama kurun waktu 25 tahun ini. 

Comments

  1. uppss .jd gitu ??
    good artikel. informasi yang penting nih . makasih

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts