White Picket Fence Hollywood Dreams
September 09, 2020
"Kamu itu Perempuan, Ga. Sekuat-kuatnya Perempuan, nanti akan ada waktu dimana kamu bakalan butuh Laki-laki di hidup kamu." begitu Nyokap gue bilang hampir 12 tahun lalu, setelah gue berhasil menyelesaikan sidang perceraian gue, dan mulai balik jadi workaholic. A serious, no time for fun, kinda workaholic that time. I dedicated so much of my time, energy and of course tons of money to rebuild my life and myself.
Pergi Pagi Buta, Pulang Bareng Angin Malam
Nggak perlu waktu lama, di tahun 2011 menuju ke 2012 saat gue akhirnya menetap di rumah pertama yang gue beli dari hasil kerja keras gue, kata-kata Nyokap tadi kembali mampir dan cukup menohok gue. Dulu gue berangkat kerja dari rumah gue di sekitaran Depok itu mulai dari jam 5 pagi, supaya bisa sampai di kantor tepat jam 7.30 atau paling telat banget jam 8 pagi. Transisi dari punya mobil pribadi lalu kembali pakai transportasi umum, bikin gue stress bukan main waktu itu.
Lalu gue akan sampai di rumah sekitar jam 8 malam atau pernah paling ngehek itu jam 10.30 malam. Jadi hidup gue benar-benar cuma rumah-kantor-rumah. Memang ada waktu-waktu gue bisa hangout di bar/pub langganan bareng sama teman-teman gue, tapi nggak terlalu sering karena kendala jarak.
Atap Bocor dan Laki-laki
Malam minggu, karena nggak punya mobil, belum ada transportasi online, pesan taksi susah, akhirnya gue cuma bisa nonton film di kamar. Hujan deras dari pagi, juga berhasil bikin mager. Sampai akhirnya menjelang tengah malam, kamar tidur gue atapnya bocor, air yang masuk langsung bikin lantai kamar becek kecipak-kecipuk.
Gue keluar dari kamar, cek kamar tidur kedua, kamar mandi, ruang tamu dan dapur, ternyata di beberapa titik ada rembesan juga, dan gue sendirian. Langsung gue cabut semua kabel, nutup steker listrik pake lakban, angkat kasur dan selamatkan beberapa furnitur yang seadanya ke tempat yang lebih aman.
Gue nekat nyari sumber atap yang bocor di kamar tidur gue di sebelah mana. Gue naik ke genteng pakai tangga, kelihatan karpet pelindung genteng itu kebawa angin dan hampir copot. Mungkin lemnya kurang kuat waktu proses pemasangan, atau tahulah apaan gue malas mikirnya, sampai akhirnya jadi begitu. Sebisa mungkin karpet pelindung itu gue tutup kembali, dan tumpuk gentengnya dengan benar berdasarkan logika gue.
Pas gue balik ke dalam rumah, gue menangis sejadi-jadinya sambil mengutuk : "Bangsat, sudahlah beli rumahnya susah-susah, ada yang rusak dan harus gue perbaiki sendiri dalam kondisi kayak begini. Iya, ngaku deh gue, gue butuh laki-laki di dalam hidup gue. Tukang genteng buat benerin atap yang bocor!"
White Picket Fence Hollywood Dreams
Jarang banget nonton film Rom-Com yang nggak happy ending. Paling banter ya bittersweet ending. Dan sebagian besar dari Rom-Com yang sudah gue tonton itu selalu ada "white picket fence hollywood dreams"-nya.
"Throughout movies, white picket fences are used to symbolize the perfect middle-class suburban life. This prevailing imagery has led to what some call the “White Picket Syndrome,” in which a person blindly holds on to the idea of a perfect lifestyle despite its inability to every really exist. No life is as perfect as the movies want to portray, and dreams of a white picket fence lifestyle aren’t always realistic."
Sejak hari Senin lalu, gue ngobrol sama beberapa orang teman Perempuan terdekat gue mengenai topik ini. Kami bisa berteman dekat sampai sekarang ini karena kami memiliki kesamaan cara berpikir dan memandang hidup. We're 30 something, single, hard working bad-ass women, and won't lower our standards or even compromise it.
Gue dan Mbak Lorde (panggilan kesayangan gue ke doi, dan karena rambut mereka mirip banget) sepakat, kami berdua mulai merasa kelelahan menjadi Perempuan kuat nan mandiri, dan sering sekali bikin banyak Laki-laki jiper. This isn't a self-proclaimed, our best man-friends (I don't wanna make a confusion using a boyfriend terms here) told us about this. Even our dates back in a day before COVID-19 happened, ever told us this. Para lelaki ini menangkap sinyal intimidasi yang kentara dan kuat dari kami, entah dari cara kami ngomong, berjalan, menatap lawan bicara, atau bahkan topik pembicaraan yang kami pilih.
Begitupula yang dirasakan oleh Ibeth dan Nuke (sampai hari ini gue masih bingung sih, Nuke nih beneran sudah punya pacar lagi atau belum sih? vague banget memang Scorpio yang satu ini) mereka mengaku kelelahan menjalani peran sebagai Perempuan kuat nan mandiri. Dan pasti ada hari dimana, kami tuh pingin punya, that so-called white picket fence hollywood dreams saja, saking sudah merasa kehabisan ide buat bertahan. Tapi lagi-lagi, hidup itu ya bukan film-film hollywood atau drama telenovela atau FTV yang tanpa ada burung Elang parkir di garasi mobilnya. Hidup adalah perjuangan, terlepas dari gender, status ekonomi, status sosial dsb.
Second Anchor In Personal Life
Beberapa bulan lalu, seorang laki-laki berkebangsaan Chile pernah bertanya ke gue : "What are you looking for in terms of relationship? Since you tell me, you're in a situation to find a safe harbour in total strangers." dengan kemantapan mengalahkan acara Mancing Mania, gue menjawab :
"To find a second anchor in my life. My first anchor of course is my Mom and my siblings. It's getting harder to find a lifetime partner who would take me just the way I am, with all of my past mistakes. From time to time, I can find that safe harbour from strangers, like my Dad when he used to talk about our family troubles with some random taxi drivers. Makes us calm and can find different perspective for our lives."
Tapi barusan banget gue tersadar, mungkin gue perlu meralat posisinya, bukan lagi yang kedua, melainkan menjadi yang ketiga. Because my second anchor is already here with me all the time, through thick and thin. My best girlfriends and man-friends. They all are my second anchor.
Become A Realist-Dreamer
Gue nggak akan melarang diri gue sendiri atau teman-teman gue, untuk berhenti bermimpi atau memimpikan hidup ideal kita maunya bagaimana. Tapi mungkin kita perlu belajar menjadi pemimpi yang realistis, dan sadar betul risiko dan konsekuensi yang akan ditanggung, apabila mimpi tersebut nggak kesampaian.
Jatuh dan gagal itu biasa, namun untuk bisa bangkit kembali belum tentu bisa kita jalani kalau nggak ada keikhlasan dan kelapangan hati. Untuk kalian yang membaca ini sampai selesai, regardless your gender, sexual orientation, or whatever social construct try to define you, you're doing great already. Don't you worry about that.
0 comments